Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketua MPR: Mayoritas Masyarakat Indonesia Pilih Pancasila sebagai Ideologi Bangsa

Kompas.com - 11/11/2019, 16:32 WIB
Deti Mega Purnamasari,
Krisiandi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo memastikan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia tetap memandang Pancasila sebagai pilihan ideal untuk jadi ideologi resmi.

Hal tersebut disampaikan Bambang saat menjadi pembicara dalam seminar bertajuk Merawat Kemajemukan Memperkuat Negara Pancasila: Agenda Nasional Promosi Toleransi pada Kepemimpinan Baru yang diselenggarakan SETARA Institute, Senin (11/11/2019) di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.

"Penyebaran paham radikalisme nyata dan ada, mayoritas masyarakat Indonesia sebenarnya tetap memandang Pancasila sebagai pilihan ideal ideologi resmi negara ini," ujar Bambang.

Baca juga: 4 Tips Sukses Mahasiswa Jadi Wirausahawan dari Rektor Universitas Pancasila

Dengan demikian, kata dia, gejala-gejala intoleransi dan radikalisme yang belakangan muncul tak mewakili bangsa Indonesia yang masih memelihara toleransi.

"Gejala intoleransi dan radikalisme tak sepenuhnya mewakili potret besar toleransi umat beragama di Indonesia," lanjut dia.

Bambang mengatakan, sebuah survei pada 2017 menyebutkan, indeks kerukunan umat beragama masyarakat Indonesia masih mengedepankan toleransi walaupun secara statistik menurun dari tahun-tahun sebelumnya.

Bahkan, kata dia, studi tentang gambaran besar toleransi di Indonesia yang dilakukan peneliti luar negeri memperkuat hasil survei tersebut.

"Dalam beberapa studi penelitian luar menegaskan, Indonesia menjadi bukti bahwa agama tak menjadi faktor penghambat demokrasi. Malah menurutnya, semakin intens seorang beragama semakin besar kemungkinannya menerima nilai-nilai demokrasi dan toleransi," terang Bamsoet.

Menurut Bamsoet, intoleransi sebagai cikal-bakal munculnya radikalisme yang berujung pada aksi terorisme harus diatasi secara sungguh-sungguh.

Sebab, kata dia, tumbuh suburnya sikap intoleran tergantung di lahan mana dia berkembang.

"Jika ia hidup di tanah gersang maka sikap intoleransi sulit menemukan tempatnya. Sebaliknya, jika hidup di alam subur maka akan cepat berkembang," kata dia.

"Mari kita jadikan bumi Indonesia menjadi lahan yang gersang bagi sikap-sikap intoleransi," lanjut dia.

Sementara itu Direktur Riset SETARA Institute Halili mengungkapkan, dalam 12 tahun terakhir SETARA Institute menemukan 2.400 peristiwa pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) dengan jumlah tindakan 3.177 yang tersebar di 34 provinsi.

Adapun dari 10 besar provinsi dengan jumlah peristiwa tertinggi, posisi pertama diraih oleh Jawa Barat dengan 629 peristiwa, disusul oleh DKI Jakarta di posisi dua dengan 291 peristiwa, dan Jawa Tinur di posisi tiga dengan jumlah 270 peristiwa.

"Jawa Barat dalam 12 tahun tidak pernah turun dari peringkat 1 karena multifaktor," kata dia.

Dari temuan SETARA Institute, pelaku atau aktor dari pelanggaran KBB itu sendiri ada dari negara dan non negara.

Baca juga: Surya Paloh Singgung Parpol Ngakungaku Pancasila, Hendrawan: Bukan PDI-P

Aktor negara yang paling banyak melakukan pelanggaran dilalukan oleh kepolisian sebanyak 480 tindakan.

Posisi kedua diraih oleh pemerintah daerah dengan 383 tindakan, serta posisi ketiga adalah Kementerian Agama sebanyak 89 tindakan.

Sementara pelaku dari non negara paling banyak dilakukan oleh kelompok warga hingga 600 tindakan, ormas keagamaan 249 tindakan, MUI 242 tindakan, FPI 181 tindakan, dan beberapa pelaku lainnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Nasional
Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com