Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Komnas HAM Sebut Penembakan Gas Air Mata ke Posko Atma Jaya Berlebihan

Kompas.com - 01/10/2019, 17:28 WIB
Christoforus Ristianto,
Krisiandi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisioner Komnas HAM bidang pengkajian dan penelitian Choirul Anam menilai, aksi polisi yang menembakkan gas air mata ke titik evakuasi di sekitar Kampus Atma Jaya, Jakarta, saat kerusuhan pada Senin (30/9/2019), merupakan tindakan berlebihan.

Choirul mengakui, polisi punya kewenangan untuk membubarkan aksi, namun tidak berhak mengejar bahkan mengepung massa.

"Menurut kami itu berlebihan dalam menghadapi aksi massa. Polisi memang punya kewenangan untuk membubarkan sebuah aksi massa, membubarlan lho ya, tidak mengejar dan tidak mengepung. Itu berbeda jauh," ujar Anam saat ditemui awak media di kantor Komnas HAM, Jakarta, Selasa (1/10/2019).

Baca juga: Polda Metro Jaya: Polisi Tak Bermaksud Menembak Gas Air Mata ke Arah Posko Farmasi Atma Jaya

Diketahui, dalam Pasal 24 Peraturan Kapolri Nomor 9 tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum, dinyatakan bahwa dalam menerapkan upaya paksa harus dihindari terjadinya hal-hal yang kontra produktif.

Misalnya, tindakan aparat yang spontanitas dan emosional, mengejar pelaku, membalas melempar pelaku, menangkap secara kasar dengan menganiaya atau memukul; tindakan aparat yang melampaui kewenangannya; dan tindakan aparat yang melakukan kekerasan, penganiayaan, pelecehan, melanggar HAM.

Di samping itu, ada peraturan lain yang terkait dengan pengamanan demonstrasi, yaitu Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa.

Aturan yang lazim disebut Protap itu tidak mengenal ada kondisi khusus yang bisa dijadikan dasar aparat polisi melakukan tindakan represif. Protap juga jelas-jelas melarang anggota satuan dalmas melakukan tindakan kekerasan yang tidak sesuai dengan prosedur.

"Kalau ada aksi massa, kemudian mereka dikepung, itu pelanggaran karena tugas polisinya adalah membubarkan aksi. Setelah aksinya bubar, ya selesai, enggak boleh dikejar-kejar," ujar Choirul.

"Jadi kemarin langkah kepolisian berlebihan, tidak perlu menembakkan gas air mata sampai ke Atma Jaya. Apalagi di tempat itu posko kesehatan, itu pengepungan, bukan pembubaran," sambungnya.

Suasana posko evakuasi di samping kampus Universitas Atma Jaya, Jakarta sebelum ditembak gas air mata.DOK: FAMSI Suasana posko evakuasi di samping kampus Universitas Atma Jaya, Jakarta sebelum ditembak gas air mata.
Menurut Choirul, secara hukum pembubaran dan pengejaran ataupun pengepungan massa memiliki konsekuensi hukum yang berbeda.

"Pembubaran tidak sama dengan pengepungan dan tidak sama dengan pengejaran, itu juga diatur dalam Protap Kepolisian," pungkasnya.

Sebelumnya, aparat kepolisian memukul mundur massa pengunjuk rasa dari kawasan gedung Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat.

Polisi menembakan gas air mata ke arah kerumunan massa aksi yang berada disekitar kampus Atma Jaya pada Senin sekitar pukul 18.50 WIB.

Padahal, kampus tersebut dijadikan titik posko evakuasi bagi korban luka-luka.

Bahkan korban pingsan yang membutuhkan bantuan oksigen jumlahnya sudah mencapai 50 orang.

Baca juga: Polisi Tembak Gas Air Mata ke Titik Evakuasi Korban Luka di Kampus Atma Jaya

"Serta-merta tembakan itu mengarah ke kampus, yang seharusnya sudah menjadi titik netral dan sudah ada posko evakuasi," kata Mahasiswa Fakultas Hukum Atma Jaya, Natado, saat dihubungi Kompas.com.

Sekitar pukul 21.00 WIB polisi masih menembakkan gas air mata ke sekitar kampus. Bahkan salah satunya masuk ke perkarangan kampus.

"Ada satu tembakan yang masuk ke perkarangan kampus," kata Natado.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kelakuan SYL Minta Dibayarkan Lukisan Sujiwo Tejo Rp 200 Juta, Bawahan Kebingungan

Kelakuan SYL Minta Dibayarkan Lukisan Sujiwo Tejo Rp 200 Juta, Bawahan Kebingungan

Nasional
Gibran Siap Berlabuh ke Partai Politik, Golkar Disebut Paling Berpeluang

Gibran Siap Berlabuh ke Partai Politik, Golkar Disebut Paling Berpeluang

Nasional
PPDS Berbasis Rumah Sakit, Jurus Pemerintah Percepat Produksi Dokter Spesialis

PPDS Berbasis Rumah Sakit, Jurus Pemerintah Percepat Produksi Dokter Spesialis

Nasional
Polisi dari 4 Negara Kerja Sama demi Tangkap Gembong Narkoba Fredy Pratama

Polisi dari 4 Negara Kerja Sama demi Tangkap Gembong Narkoba Fredy Pratama

Nasional
Soal Peluang Duetkan Anies-Ahok, PDI-P: Masih Kami Cermati

Soal Peluang Duetkan Anies-Ahok, PDI-P: Masih Kami Cermati

Nasional
KPK Kembali Panggil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Singgung Jemput Paksa

KPK Kembali Panggil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Singgung Jemput Paksa

Nasional
Hamas Minta JK Turut Serta dalam Upaya Damai di Palestina

Hamas Minta JK Turut Serta dalam Upaya Damai di Palestina

Nasional
KPU Pertanyakan Klaim PPP Kehilangan 5.000 Suara di Sulsel

KPU Pertanyakan Klaim PPP Kehilangan 5.000 Suara di Sulsel

Nasional
KPU Bantah Dalil Sengketa Irman Gusman yang Ngotot Maju DPD

KPU Bantah Dalil Sengketa Irman Gusman yang Ngotot Maju DPD

Nasional
Kontak Senjata hingga Penyanderaan Pesawat, Rintangan Pemilu 2024 di Papua Tengah Terungkap di MK

Kontak Senjata hingga Penyanderaan Pesawat, Rintangan Pemilu 2024 di Papua Tengah Terungkap di MK

Nasional
Jaksa KPK Sebut Dana Rp 850 Juta dari SYL ke Nasdem untuk Keperluan Bacaleg

Jaksa KPK Sebut Dana Rp 850 Juta dari SYL ke Nasdem untuk Keperluan Bacaleg

Nasional
Nostalgia Ikut Pilpres 2024, Mahfud: Kenangan Indah

Nostalgia Ikut Pilpres 2024, Mahfud: Kenangan Indah

Nasional
Gibran Beri Sinyal Kabinet Bakal Banyak Diisi Kalangan Profesional

Gibran Beri Sinyal Kabinet Bakal Banyak Diisi Kalangan Profesional

Nasional
Menag Bertolak ke Saudi, Cek Persiapan Akhir Layanan Jemaah Haji

Menag Bertolak ke Saudi, Cek Persiapan Akhir Layanan Jemaah Haji

Nasional
Ide 'Presidential Club' Prabowo: Disambut Hangat Jokowi dan SBY, Dipertanyakan oleh PDI-P

Ide "Presidential Club" Prabowo: Disambut Hangat Jokowi dan SBY, Dipertanyakan oleh PDI-P

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com