Siang Ini, Ketua DPR Dijadwalkan Bertemu Perwakilan BEM Sejumlah Kampus

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua DPR RI Bambang Soesatyo dijadwalkan bertemu dengan perwakilan BEM sejumlah universitas di Indonesia, Rabu (25/9/2019) siang.

Pertemuan tersebut digelar untuk mengklarifikasi aksi demonstrasi yang berujung ricuh, Selasa (24/9/2019) kemarin.

"Teman-teman BEM itu akan diterima Pak Ketua DPR jam 2 nanti. Itu bagian mengklarifikasi, karena memang temen-temen mahasiswa sebagian ada yang merasa aneh dari kegiatan mereka, kok jadi meluas dengan kegiatan-kegiatan perusakan yang tidak dikendalikan," kata Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (25/9/2019).

Indra belum bisa memastikan BEM kampus mana saja yang bakal hadir pada pertemuan itu. Namun, salah satu yang dipastikan hadir adalah BEM Universitas Indonesia.

Baca juga: Selasa Kemarin, Ketika Mahasiswa Demonstran dan Ketua DPR Nyaris Bertemu...

Menurut Indra, pertemuan nanti adalah kelanjutan dari rencana audiensi yang gagal digelar Selasa sore kemarin.

Indra mengklaim, Selasa kemarin pihaknya sudah siap menyambut, tetapi malah ditolak pihak mahasiswa dan demonstrasi pun berujung ricuh.

"Kita tawarkan sebelumnya 60 orang, sampai kami siapkan ruangan sampai 600 orang kami siapkan," ujar Indra.

"Pun Pak Ketua DPR dengan sangat rendah hati ingin bertemu dengan mahasiswaa ke lapangan. Tapi teman-teman anarkistis di lapangan. Kan itu jadi sulit," sambungnya.

Indra berharap, melalui pertemuan mahasiswa dengan Ketua DPR nanti siang, apa-apa yang menjadi kerisauan dapat dibicarakan dengan baik, dan ada jalan keluar yang bisa ditempuh.

Baca juga: Demo Mahasiswa di Manado Ricuh, Polisi Dilempari Batu

"Kita juga akan menginformasikan kepada temen-temen mahasiswa untuk melihat permasalahan ini secara jernih, secara lebih baik," katanya.

Demo yang dilakukan oleh aliansi mahasiswa dan masyarakat sipil di berbagai daerah pada Senin (23/9/2019) dan Selasa (24/9/2019) berujung ricuh dengan aparat keamanan.

Diketahui, demo tersebut digelar karena menolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK).