Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakar Hukum Tata Negara Pertanyakan Efektivitas Menteri Koordinator

Kompas.com - 04/09/2019, 14:04 WIB
Christoforus Ristianto,
Fabian Januarius Kuwado

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com — Konferensi Nasional Hukum Tata Negara yang diikuti oleh para pakar hukum tata negara di Indonesia mempertanyakan efektivitas menteri koordinator dalam kabinet presidensial.

Dalam konferensi pers di Hotel JS Luwansa, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (4/9/2019), salah seorang pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan, ditinjau dari konstitusi, rupanya tidak ada kewajiban bagi kepala negara untuk menunjuk menteri koordinator.

"Menteri koordinator harus ditinjau efektivitasnya. Secara konstitusional, tidak ada keharusan bagi presiden untuk tetap mempertahankan kementerian koordinator," ujar Bivitri.

Baca juga: Jokowi: Kabinet Itu Hak Prerogatif Presiden, Jangan Ikut Campur!

Kehadiran menteri koordinator hanya didasarkan pada ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Bunyinya, "Untuk kepentingan sinkronisasi dan koordinasi urusan kementerian, presiden dapat membentuk kementerian koordinasi".

Artinya, kata kunci dari perlu atau tidaknya sebuah kementerian koordinator adalah sinkronisasi dan koordinasi antarkementerian.

"Kalaupun presiden masih memandang perlu adanya menteri koordinator, harus dipertimbangkan kembali efektivitasnya. Apakah memberi nilai tambah bagi presiden atau tidak," lanjut Bivitri.

Pada pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, terdapat empat menteri koordinator, yaitu di bidang politik, hukum, dan keamanan, bidang perekonomian, kemaritiman, dan sumber daya, pembangunan manusia dan kebudayaan.

Baca juga: Jokowi Diingatkan Tak Umumkan Kabinet Sebelum Dilantik

Menurut Bivitri, konferensi pakar hukum tata negara sekaligus menarik sebuah kesimpulan bahwa tidak semua menteri koordinator itu berjalan efektif dalam mengimplementasikan kebijakan.

"Misalnya menko A kurang efektif, menko B efektif betul, menko C terlalu efektif. Kalau memang presiden membutuhkan (menteri koordinator), enggak ada masalah sama sekali. Hanya harus dipikirkan betul apakah ada nilai tambahnya atau tidak," ujar Bivitri.

"Kalau misalkan tidak, barangkali tidak perlu diadakan. Intinya lihat efektivitasnya," lanjut wanita yang juga menjabat sebagai pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera itu.

Hasil diskusi para pakar hukum tata negara ini akan disampaikan kepada Presiden Jokowi dalam waktu dekat.

 

Kompas TV Kerap ditanya mengenai nama calon menterinya, Presiden Jokowi curhat saat peresmian pembukaan Konferensi Hukum Tata Negara ke-6 tahun 2019 di Istana Kepresidenan, Senin (2/9/19). "Pak, siapa sih nanti menteri-menterinya? Kemana-mana ditanya ini terus. Pak, bapak A masuk enggak, Pak? Nanti ke tempat lain, Ibu B masuk ke kabinet enggak, Pak?” ujar Jokowi. Menanggapi hal itu, Jokowi meminta semua orang yang bertanya untuk bersabar. Ia pastikan susunan kabinet jilid II akan diumumkan dalam waktu dekat. Apalagi Jokowi menegaskan penyusunan kabinet adalah hak prerogatifnya sebagai presiden terpilih 2019-2024. "Konstitusi kita mengatakan, penyusunan kabinet itu hak prerogatif presiden. Jadi jangan ada yang ikut campur," kata Jokowi. #Jokowi #MenteriJokowi #KabinetJokowi
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Soal 'Presidential Club' Prabowo, Bamsoet Sebut Dewan Pertimbangan Agung Bisa Dihidupkan Kembali

Soal "Presidential Club" Prabowo, Bamsoet Sebut Dewan Pertimbangan Agung Bisa Dihidupkan Kembali

Nasional
KPK Periksa Dirut Nonaktif PT Taspen Antonius Kosasih

KPK Periksa Dirut Nonaktif PT Taspen Antonius Kosasih

Nasional
KPU Ungkap 13 Panitia Pemilihan di Papua Tengah yang Tahan Rekapitulasi Suara Berujung Dipecat

KPU Ungkap 13 Panitia Pemilihan di Papua Tengah yang Tahan Rekapitulasi Suara Berujung Dipecat

Nasional
Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen, Jokowi: Negara Lain Masuk Jurang, Kita Naik

Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen, Jokowi: Negara Lain Masuk Jurang, Kita Naik

Nasional
Eks Anak Buah SYL Beri Tip untuk Paspampres, Gratifikasi Disebut Jadi Kebiasaan

Eks Anak Buah SYL Beri Tip untuk Paspampres, Gratifikasi Disebut Jadi Kebiasaan

Nasional
TPN Resmi Dibubarkan, Hasto Tegaskan Perjuangan Tetap Dilanjutkan

TPN Resmi Dibubarkan, Hasto Tegaskan Perjuangan Tetap Dilanjutkan

Nasional
Kelakar Jokowi soal Kemungkinan Pindah Parpol Usai Tak Dianggap PDI-P

Kelakar Jokowi soal Kemungkinan Pindah Parpol Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
 Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Nasional
Satu Pejabat Pemprov Malut Jadi Tersangka Baru Kasus Gubernur Abdul Ghani Kasuba

Satu Pejabat Pemprov Malut Jadi Tersangka Baru Kasus Gubernur Abdul Ghani Kasuba

Nasional
RI Ajukan Penyesuaian Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae ke Korsel, Kemenhan Jelaskan Alasannya

RI Ajukan Penyesuaian Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae ke Korsel, Kemenhan Jelaskan Alasannya

Nasional
 Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian, Jokowi Klaim Tak Beri Masukan

Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian, Jokowi Klaim Tak Beri Masukan

Nasional
Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jemaah Indonesia

Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jemaah Indonesia

Nasional
Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang 'Toxic', Jokowi: Benar Dong

Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang "Toxic", Jokowi: Benar Dong

Nasional
Ganjar Harap Buruknya Pilpres 2024 Tak Dikloning ke Pilkada

Ganjar Harap Buruknya Pilpres 2024 Tak Dikloning ke Pilkada

Nasional
Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pengamat Intelijen: Masyarakat Harus Beri Dukungan untuk Perbaikan

Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pengamat Intelijen: Masyarakat Harus Beri Dukungan untuk Perbaikan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com