Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menurut Pakar Tata Negara, Ini Perbedaan MPR Orde Baru dan Sekarang

Kompas.com - 13/08/2019, 11:56 WIB
Deti Mega Purnamasari,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengungkapkan perbedaan yang sangat jauh antara wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) era orde baru (orba) dengan MPR saat ini, pasca empat kali amandemen.

"Jauh sekali bedanya. Secara substantif, MPR di orde baru adalah lembaga tertinggi negara yang melaksanakan kedaulatan rakyat sepenuhnya," ujar Refly kepada Kompas.com, Selasa (13/8/2019).

Baca juga: Wacana Kembali ke UUD 1945 dan Mengingat Lagi Alasan Perlunya Amandemen

Ia mengatakan, dalam UUD 1945 diterangkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR.

Dalam naskah asli UUD 1945, Bab II Pasal 2 dicantumkan bahwa MPR terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.

Kemudian MPR juga dicantumkan agar bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara, serta segala putusan MPR ditetapkan dengan suara terbanyak.

Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (3/8/2019).KOMPAS.com/Haryantipuspasari Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (3/8/2019).

Baca juga: Menkuham Sebut Partai-partai Sepakat Amandemen UUD Terbatas pada GBHN

Sementara dalam Pasal 3 dicantumkan bahwa MPR menetapkan UUD dan Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

"Sekarang tidak begitu, MPR bukan lagi lembaga tinggi negara melainkan lembaga yang sama derajat dan posisinya dengan lembaga-lembaga negara utama lainnya seperti DPR, Presiden, DPD, itu semuanya sederajat," terang Refly.

Menurut dia, lembaga-lembaga tersebut saat ini menjalankan fungsi yang berbeda.

Namun mereka tidak menjadi satu dalam mengatasi hal lain seperti halnya MPR di era orde baru.

Baca juga: Fadli Zon: Wacana Amandemen UUD Jangan Jadi Kepentingan Sesaat

Secara paradigmanya saja, kata dia, sudah berbeda antara MPR masa orde baru dengan MPR yang saat ini berjalan. Di masa orde baru, kata dia, MPR disebut lembaga penjelmaan rakyat.

"Karena dianggap penjelmaan rakyat, dia dianggap rakyat sendiri. Berhak melaksanakan kedaulatan rakyat. Salah satunya membuat GBHN, memilih presiden dan wapres termasuk memberhentikan presiden," terang dia.

Fungsi-fungsi tersebut, kata Refly, sudah tidak ada lagi sejak era reformasi.

Baca juga: Sikap Politik PDI-P, Amandemen Terbatas UUD 1945 hingga Ambang Batas Parlemen 5 Persen

Pasalnya, tekad mengubah atau mengamandemen UUD dari tahun 1999-2002 adalah memurnikan sistem presidensial.

Dengan demikian, Presiden pun tidak lagi dipilih MPR tetapi dipilih langsung oleh rakyat.

"Sudah berubah paradigmanya, MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi tapi sudah dengan sistem check and balances antar cabang-cabang kekuasaan negara," tutup dia.

Baca juga: PDI-P Usul Amandemen Terbatas UUD 1945 agar MPR Jadi Lembaga Tertinggi

Diberitakan, terdapat wacana untuk mengamandemen terbatas UUD 1945 dikembalikan lagi sesuai naskah aslinya.

Salah satu tujuan amandemen terbatas UUD 1945 adalah untuk mengembalikan fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi negara.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

Nasional
Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com