DEWASA ini terjadi kelongsoran cara memahami demokrasi. Banyak publik berpikir, demokrasi adalah sebuah bentuk renovasi gagasan yang berputar pada isu-isu prosedural.
Sekadar mendesain pemilu yang bebas. Pers semakin kritis. Atau hal-hal yang berkaitan pada pengisian pejabat publik.
Lupa bahwa esensi demokrasi sangat dalam. Menyangkut sistem, tata nilai dan perilaku.
Bahkan, semakin kompleks dengan hadirnya kecanggihan teknologi informasi. Semua serba digital. Telanjang. Dapat diakses siapa pun. Tanpa batas.
Yasraf Amir Piliang (Dunia Yang Dilipat, 2004) sempat melakukan deteksi dini terkait demokrasi dan lebih luas lagi peradaban kemanusiaan di Indonesia.
Baginya, kini tengah terjadi kekacauan organisme. Organ kepala telah berubah menjadi dengkul.
Orang lebih banyak bertindak daripada berpikir. Organ mata telah menjadi otak sehingga orang lebih banyak menonton daripada merenung.
Organ telinga telah dijajah mulut sehingga orang lebih banyak berbicara ketimbang mendengarkan.
Kondisi demikian hanya dapat diperbaiki melalui pendidikan kritis bermutu. Fenomena di atas hanya dapat diatasi apabila ada rekonseptualisasi ulang demokrasi yang sejalan dengan konteks.
Bagi penulis, di dalam konteks demikian, demokrasi harus dapat melakukan dua fungsi utama.
Pertama, memakmurkan masyarakat secara egaliter. Tidak terdiskriminasi. Kedua, memiliki fleksibilitas kebebasan dan ketangkasan menangkap tanda zaman.
Memanfaatkan teknologi digital bukan sekedar selfie dan konsumsi. Lebih dari itu, menyebarkan virus menjadikan publik berdaulat di ruang publik.
Menyediakan mekanisme, otoritasi dan strategi yang senantiasa melibatkan publik sebagai subjek. Bukan asesoris dari eksistensi negara.
Dengan begitu tujuan bernegara di Pembukaan UUD 1945 dan basis perekonomian di Pasal 33 UUD 1945 dapat direalisasikan secara utuh menyeluruh.
Literasi Indonesia mencekam dan ironis. Bayangkan, posisi kita di segi literasi berada pada peringkat 60 dari 61 negara (Most Literate Nations in the World, 2016).
Minat baca hanya 0,1 persen atau setara dari 1000 orang hanya 1 orang memiliki minat membaca.
Fakta dimaksud menjadi tragis karena paradoks dengan kepemilikan gawai/smartphone.