Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Raden Muhammad Mihradi
Dosen

Direktur Pusat Studi Pembangunan Hukum Partisipatif
dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Pakuan.

Milenial dan Ancaman terhadap Demokrasi

Kompas.com - 04/08/2019, 11:16 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DEWASA ini terjadi kelongsoran cara memahami demokrasi. Banyak publik berpikir, demokrasi adalah sebuah bentuk renovasi gagasan yang berputar pada isu-isu prosedural.

Sekadar mendesain pemilu yang bebas. Pers semakin kritis. Atau hal-hal yang berkaitan pada pengisian pejabat publik.

Lupa bahwa esensi demokrasi sangat dalam. Menyangkut sistem, tata nilai dan perilaku.
Bahkan, semakin kompleks dengan hadirnya kecanggihan teknologi informasi. Semua serba digital. Telanjang. Dapat diakses siapa pun. Tanpa batas.

Yasraf Amir Piliang (Dunia Yang Dilipat, 2004) sempat melakukan deteksi dini terkait demokrasi dan lebih luas lagi peradaban kemanusiaan di Indonesia.

Baginya, kini tengah terjadi kekacauan organisme. Organ kepala telah berubah menjadi dengkul.

Orang lebih banyak bertindak daripada berpikir. Organ mata telah menjadi otak sehingga orang lebih banyak menonton daripada merenung.

Organ telinga telah dijajah mulut sehingga orang lebih banyak berbicara ketimbang mendengarkan.

Kondisi demikian hanya dapat diperbaiki melalui pendidikan kritis bermutu. Fenomena di atas hanya dapat diatasi apabila ada rekonseptualisasi ulang demokrasi yang sejalan dengan konteks.

Bagi penulis, di dalam konteks demikian, demokrasi harus dapat melakukan dua fungsi utama.
Pertama, memakmurkan masyarakat secara egaliter. Tidak terdiskriminasi. Kedua, memiliki fleksibilitas kebebasan dan ketangkasan menangkap tanda zaman.

Memanfaatkan teknologi digital bukan sekedar selfie dan konsumsi. Lebih dari itu, menyebarkan virus menjadikan publik berdaulat di ruang publik.

Menyediakan mekanisme, otoritasi dan strategi yang senantiasa melibatkan publik sebagai subjek. Bukan asesoris dari eksistensi negara.

Dengan begitu tujuan bernegara di Pembukaan UUD 1945 dan basis perekonomian di Pasal 33 UUD 1945 dapat direalisasikan secara utuh menyeluruh.

Ancaman

Literasi Indonesia mencekam dan ironis. Bayangkan, posisi kita di segi literasi berada pada peringkat 60 dari 61 negara (Most Literate Nations in the World, 2016).

Minat baca hanya 0,1 persen atau setara dari 1000 orang hanya 1 orang memiliki minat membaca.

Fakta dimaksud menjadi tragis karena paradoks dengan kepemilikan gawai/smartphone.

Berdasarkan survei Hootsuite di bulan Januari 2018, lebih dari 132,7 juta orang Indonesia pemilik sekaligus pengguna gawai aktif.

Terbiasa mengakses sosial media, baik itu facebook, instragram, path, whatsapp secara agresif.

Maka, dapat diduga sebuah bencana peradaban terjadi. Bagaimana mungkin dari 132,7 orang di atas bisa menggunakan gawai secara bermutu apabila peringkat literasinya nomor dua terbawah dari survei 61 negara di dunia.

Tidak heran wabah hoaks sebagai tanda rezim post-truth begitu leluasa bersemayam dalam tubuh komunikasi dunia maya kita.

Rezim post-truth tidak dapat dianggap enteng karena mengapitalisasi emosionalitas informasi dan reproduksinya secara berulang-ulang melalui media sosial tanpa peduli pada fakta dan kebenaran.

Menurut Moh Yasir Alimi (Mediatisasi Agama Post-Truth dan Ketahanan Nasional, 2018), post-truth merupakan penegasan supremasi ideologis yang digunakan oleh para praktisi untuk memaksa seseorang mempercayai sesuatu tanpa menghiraukan bukti.

Rezim post-truth memproduksi hoaks atau berita palsu sebagai komoditi untuk mencapai kepentingan politiknya.

Post-truth dan hoaks mendapat lahan subur di Indonesia karena belum tampak upaya sistematis melakukan percepatan meningkatkan jumlah maupun mutu literasi.

Ilustrasi: Generasi milienial lebih senang kerja di cafe dengan gaya casual dibanding di kantor dengan gaya resmi.SHUTTERSTOCK Ilustrasi: Generasi milienial lebih senang kerja di cafe dengan gaya casual dibanding di kantor dengan gaya resmi.

Ada dosa besar di ranah pendidikan yang gagal merespons arus global yang secara “ganas” membongkar struktur rasionalitas publik digantikan dengan pendekatan emosional untuk sesuatu yang faktual.

Praktis, demokrasi akan terancam bila tidak ada agenda darurat mengatasi kesenjangan antara pemanfaatan teknologi dengan kapasitas pengguna teknologi.

Ancaman lain bagi demokrasi adalah mutu kaum milenial.

Ada buku bagus terbitan tahun 2019 yang ditulis Yuswohady dkk bertajuk Millenials Kill Everything.

Buku tersebut bertutur soal generasi milenial yang sanggup menghancurkan apa pun, termasuk ekonomi dan bisnis, oleh gaya dan perilaku mereka yang menjadi karakternya.

Seperti tuntutan tempat kerja yang harus friendly dan homy. Tidak tertarik pada brand untuk menentukan pilihan melainkan lebih pada review customer.

Termasuk, ini yang harus diantisipasi, kegagapan menjalin komunikasi sosial di ruang nyata karena terbelenggu tradisi komunikasi dunia maya.

Apa risiko dari kelompok milenial di atas terhadap demokrasi?

Pertama, potensi gesekan generasi Baby Boomers dan Gen-X dengan milenial khususnya dalam konteks politik apabila tidak legawa memberikan wahana, ruang dan eksistensi bagi milenial untuk berekspresi di panggung politik.

Apabila jabatan publik masih terbatas diberikan pada kelompok milenial. Bukan mustahil mereka apatis atas nasib bangsa ke depan.

Kedua, diperlukan fasilitator yang mampu memberdayakan milenial untuk mengembangkan potensi dan bakat di ruang-ruang publik agar mutu tetap terawat namun di sisi lain perlu kebesaran hati dari semua pihak untuk memberikan kesempatan dan ruang tumbuh kembang bagi pendewasaan mereka berdemokrasi.

Ketiga, kebebasan, kejujuran dan otentisitas menjadi karakter generasi milenial yang dihadapkan dengan praktik korup elite politik akan memicu frustrasi.

Bila tidak ada upaya serius memberantas korupsi, milenial akan mengalami krisis kepercayaan pada masa depan lebih baik.

Agenda

Pemerintahan Presiden Jokowi harus dapat menawarkan harapan bagi Indonesia lebih baik dengan aset generasi milenial.

Tantangannya tidak mudah. Sebab, Presiden Jokowi harus mampu memberikan pemahaman (dan mungkin sedikit tekanan) pada kelompok koalisi partainya untuk memberikan peluang pada generasi milenial memimpin dengan prasyarat kompetensi dan integritas sebagai hal niscaya.

Selain itu, demokrasi digital menuntut kecepatan, persebaran dan akurasi bagi ruang partisipasi publik yang teredukasi.

Komitmen Presiden Jokowi di periode kedua membangun sumber daya manusia harus diwujudkan secara terencana dan terintegrasi.

Bahkan, harus memastikan, kita menjadi bangsa berdiri di atas kaki sendiri (berdikari).

Di dalam konteks demikian, maka penyelenggaraan pendidikan baik dasar hingga perguruan tinggi harus diperkuat baik dari segi anggaran, kapasitas pelakunya maupun penguatan mutu proses pembelajaran.

Berbagai isu kontraproduktif seperti impor rektor asing, dosen asing dan sebagainya harus dikaji ulang secara mendalam agar akar masalah pendidikan dapat dibenahi.

Hal ini menuntut demokratisasi proses pengambilan kebijakan sehingga surplus gagasan dari pemangku kepentingan dapat menjadi vitamin bagi pembangunan negara secara berkelanjutan.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Zulhas: Katanya PAN Cuma Bisa Joget-joget, Eh Capres yang Menang Bisa Joget

Zulhas: Katanya PAN Cuma Bisa Joget-joget, Eh Capres yang Menang Bisa Joget

Nasional
Prabowo Bilang Ada Partai Klaim Sosok Bung Karno, Budiman Sudjatmiko: Bukan Diskreditkan PDI-P

Prabowo Bilang Ada Partai Klaim Sosok Bung Karno, Budiman Sudjatmiko: Bukan Diskreditkan PDI-P

Nasional
Ketua KPU: Caleg Terpilih Tak Perlu Mundur jika Maju Pilkada 2024

Ketua KPU: Caleg Terpilih Tak Perlu Mundur jika Maju Pilkada 2024

Nasional
Zulhas dan Elite PAN Temui Jokowi di Istana, Mengaku Tak Bahas Kursi Kabinet

Zulhas dan Elite PAN Temui Jokowi di Istana, Mengaku Tak Bahas Kursi Kabinet

Nasional
Demokrat Tak Khawatir Jatah Kursi Menteri, Sebut Prabowo Kerap Diskusi dengan SBY

Demokrat Tak Khawatir Jatah Kursi Menteri, Sebut Prabowo Kerap Diskusi dengan SBY

Nasional
PAN Lempar Kode soal Jatah Menteri, Demokrat: Prabowo yang Punya Hak Prerogatif

PAN Lempar Kode soal Jatah Menteri, Demokrat: Prabowo yang Punya Hak Prerogatif

Nasional
Zulhas Bawa 38 DPW PAN Temui Jokowi: Orang Daerah Belum Pernah ke Istana, Pengen Foto

Zulhas Bawa 38 DPW PAN Temui Jokowi: Orang Daerah Belum Pernah ke Istana, Pengen Foto

Nasional
Golkar, PAN dan Demokrat Sepakat Koalisi di Pilkada Kabupaten Bogor

Golkar, PAN dan Demokrat Sepakat Koalisi di Pilkada Kabupaten Bogor

Nasional
Ajakan Kerja Sama Prabowo Disebut Buat Membangun Kesepahaman

Ajakan Kerja Sama Prabowo Disebut Buat Membangun Kesepahaman

Nasional
Kubu Prabowo Ungkap Dirangkul Tak Berarti Masuk Kabinet

Kubu Prabowo Ungkap Dirangkul Tak Berarti Masuk Kabinet

Nasional
Pusat Penerbangan TNI AL Akan Pindahkan 6 Pesawat ke Tanjung Pinang, Termasuk Heli Anti-kapal Selam

Pusat Penerbangan TNI AL Akan Pindahkan 6 Pesawat ke Tanjung Pinang, Termasuk Heli Anti-kapal Selam

Nasional
Duet Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim Baru Disetujui Demokrat, Gerindra-Golkar-PAN Belum

Duet Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim Baru Disetujui Demokrat, Gerindra-Golkar-PAN Belum

Nasional
Panglima TNI Kunjungi Markas Pasukan Khusus AD Australia di Perth

Panglima TNI Kunjungi Markas Pasukan Khusus AD Australia di Perth

Nasional
Spesifikasi Rudal Exocet MM40 dan C-802 yang Ditembakkan TNI AL saat Latihan di Bali

Spesifikasi Rudal Exocet MM40 dan C-802 yang Ditembakkan TNI AL saat Latihan di Bali

Nasional
Dubes Palestina Yakin Dukungan Indonesia Tak Berubah Saat Prabowo Dilantik Jadi Presiden

Dubes Palestina Yakin Dukungan Indonesia Tak Berubah Saat Prabowo Dilantik Jadi Presiden

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com