JAKARTA, KOMPAS.com - Kepolisian kesulitan dalam menjerat para perusahaan financial technology (fintech) nakal di Indonesia.
Kepala Subdirektorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Kombes (Pol) Rickynaldo Chairul mengungkapkan, saat ini, Polri baru bisa mengoptimalkan penggunaan pisau hukum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik saja.
"Hal-hal yang bisa kita jerat ini memakai pasal-pasal yang terangkum dalam UU ITE. Selain daripada itu belum ada kami temukan pasal lain yang bisa menjerat fintech-fintech ilegal ini," ujar Rickynaldo saat konferensi pers di Gedung Humas Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat (2/8/2019).
Baca juga: Satgas Waspada Investasi Ingin Ada UU soal Fintech Ilegal
Itu pun, tak seluruhnya aktivitas ilegal perusahaan fintech dapat dijerat hukum. Rickynaldo menyebut, terdapat sekitar tujuh dugaan tindak pidana yang dapat dijerat menggunakan UU ITE.
Ketujuhnya, yakni penyadapan data, penyebaran data pribadi, pengiriman gambar-gambar porno, pencemaran nama baik, pengancaman, manipulasi data dan ilegal akses.
Selain kendala regulasi, kepolisian juga semakin sulit lantaran lokasi server fintech itu tidak seluruhnya berada di Tanah Air. Banyak pula temuan server mereka berada di luar negeri.
"(Server) yang ada di Indonesia itu hanya 20 persen," ujar Rickynaldo.
Meski demikian, Polri akan tetap berupaya optimal dalam menginvestigasi kasus yang melibatkan fintech di Indonesia. Terutama apabila ada dugaan pencurian atau penyebaran data pribadi.