Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

PBNU Berharap Tidak Ada Lagi Peristiwa Hukum seperti Baiq Nuril

Kompas.com - 05/07/2019, 14:35 WIB
Kristian Erdianto,
Fabian Januarius Kuwado

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com — Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyatakan keprihatinannya atas peristiwa yang menimpa Baiq Nuril Maknum, mantan tenaga honorer SMAN 7 Mataram yang menjadi terpidana dalam kasus penyebaran konten bermuatan asusila.

Diketahui, Mahkamah Agung (MA) menolak gugatan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Baiq Nuril sehingga ia akan dieksekusi dengan hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta dengan subsider 3 bulan penjara.

"Tanpa bermaksud mengomentari putusan lembaga peradilan, saya prihatin dan turut sedih terhadap yang menimpa Baiq Nuril. Bak pepatah 'sudah jatuh ketimpa tangga', sudah mendapatkan perlakuan tidak patut, lalu dipenjara," ujar Ketua PBNU bidang Hukum, HAM dan Perundang-undangan Robikin Emhas melalui keterangam tertulis, Jumat (5/7/2019).

Baca juga: PK Baiq Nuril Ditolak MA, Presiden Jokowi Didesak Berikan Amnesti

PBNU, lanjut Robikin, tidak ingin mengintervensi proses hukum. PBNU berharap peristiwa hukum yang menimpa Baiq Nuril adalah yang terakhir kali.

"Apa boleh buat, sekarang nasi telah menjadi bubur. Baiq Nuril kini merasa telah dikriminalisasi. Baiq Nuril berharap, ini merupakan peristiwa kriminalisasi yang terakhir. Harapan seperti itu juga merupakan harapan kita semua," ujar Robikin.

Ke depan, Robikin menilai, proses hukum semestinya dapat mengakomodasi rasa keadilan yang hidup di tengah masyarakat sehingga unsur living law menjadi elemen penting dalam setiap proses penegakan hukum pidana.

Berkaca dari peristiwa Baiq Nuril, PBNU pun mendorong kedaulatan hukum terus dilakukan agar hukum tidak terkesan tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas.

Baca juga: PK Ditolak MA, Baiq Nuril Terancam Dipenjara Lagi Selama 6 Bulan

"Agar keadilan tidak dianggap sebagai komoditas yang hanya sanggup diakses kalangan terbatas. Supaya justice for all jadi suatu yang niscaya dalam kehidupan yang lumrah," kata Robikin.

Sebelumnya, Pengadilan Negeri (PN) Mataram sempat membebaskan Nuril pada 2017. Namun, jaksa mengajukan kasasi.

MA mengabulkan kasasi dengan menghukum Nuril 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta, subsider 3 bulan penjara. Baiq Nuril lalu mengajukan peninjauan kembali. Namun, MA menolaknya. Setelah PK ditolak, Baiq Nuril akan dieksekusi dengan hukuman itu.

Hakim MA menilai hukuman itu dijatuhkan pada Nuril lantaran telah merekam percakapan asusila Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram H Muslim. Perbuatan Nuril dinilai membuat keluarga besar Muslim menanggung malu.

 

Kompas TV Sidang lanjutan Peninjauan Kembali atau PK Baiq Nuril Maknun, terpidana kasus UU ITE kembali digelar Rabu (16/1) siang di Pengadilan Negeri Mataram. Dalam persidangan kali ini, jaksa tetap menyatakan Nuril bersalah dan melanggar UU ITE.<br /> <br /> Jaksa menilai Baiq Nuril bersalah dan telah melakukan pelanggaran UU ITE lantaran merekam, mentransmisikan, dan menyebarluaskan percakapan asusila mantan atasannya yang juga mantan Kepala SMA 7 Mataram, Muslim.<br /> <br /> Kuasa hukum Nuril meminta hakim agar pihaknya menghadirkan saksi ahli atas tanggapan jaksa, tetapi majelis hakim yang diketuai Sugeng Jauhari menolaknya.<br /> <br /> Hakim menolak dengan alasan tidak relevan karena hakim di Pengadilan Mataram hanya sebagai moderator dan yang memutuskan perkara permohonan PK adalah Mahkamah Agung.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Nasional
Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com