JAKARTA, KOMPAS.com — Mahkamah Agung (MA) menolak peninjauan kembali (PK) Baiq Nuril di kasus perekaman ilegal sehingga tetap dihukum 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta.
Baiq Nuril kini berharap kepada Presiden Jokowi untuk memberikan amnesti.
"Posisi kami kecewa dan berharap putusan hakim, khususnya kasasi dan PK (peninjauan kembali) ini, tidak jadi preseden yang membuat korban takut bersuara. Lalu kami desak Presiden Jokowi untuk berikan amnesti," ujar penggagas petisi #SaveIbuNuril dari Institut for Criminal Justice Forum ( ICJR) Erasmus Napitupulu kepada Kompas.com, Jumat (5/7/2019).
Baca juga: Ini Alasan MA Tolak PK Sehingga Baiq Nuril Tetap Terancam Penjara 6 Bulan
Menurut Erasmus, mekanisme teknis membatalkan eksekusi atau menghapus hukuman diserahkan kepada Presiden. Putusan PK tersebut pun dianggap mengecewakan.
Ia menuturkan, pihak Baiq Nuril sempat memberikan surat ke Presiden Jokowi pada 19 November 2018. Koalisi Save Ibu Baiq Nuril berkunjung ke Kantor Staf Presiden dan memberikan surat kepada Presiden.
"Surat tersebut berisi permintaan pemberian amnesti oleh Presiden kepada Nuril," ungkapnya kemudian.
Baca juga: ICJR Kirim Amicus Curiae ke MA untuk Kasus Baiq Nuril
Presiden merespons permintaan ini dengan meminta Nuril untuk mengajukan grasi jika PK ditolak MA.
Kasus bermula saat Baiq Nuril menerima telepon dari Kepsek M pada 2012. Dalam perbincangan itu, Kepsek M menceritakan tentang hubungan badannya dengan seorang wanita yang juga dikenal Nuril. Karena merasa dilecehkan, Nuril merekam perbincangan tersebut.
Pada 2015, rekaman itu beredar luas di masyarakat Mataram dan membuat Kepsek M geram. Kepsek lalu melaporkan Nuril ke polisi karena merekam dan menyebar rekaman tersebut.
Baca juga: 5 Fakta di Balik Permohonan PK Baiq Nuril, Dinyatakan Tetap Bersalah hingga Menangis di Ruang Sidang
Akibatnya, MA lewat putusan kasasi pada 26 September 2018 menghukum Baiq Nuril 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan.
Vonis hukuman itu diberikan sesuai dengan pelanggaran Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Ayat 1 UU Nomor 11/2008 tentang ITE.
"Dalam perkara a quo, terdakwa atau pemohon PK merekam pembicaraan via HP antara korban dan terdakwa ketika korban menelepon terdakwa sekitar satu tahun lalu," tutur juru bicara MA, Hakim Agung Andi Samsan Nganro, dalam keterangan tertulis, Jumat (5/7/2019).
Baca juga: Komisi III Sepakat Lakukan Eksaminasi untuk Kasus Baiq Nuril
"Dan hasil rekaman itu disimpan oleh terdakwa. Kemudian barang bukti hasil rekaman diserahkan kepada saksi Imam Mudawin, lalu saksi Imam Mudawi memindahkan ke laptopnya hingga tersebar luas," katanya.
Andi juga menegaskan, terdakwa menyerahkan ponsel miliknya kepada orang lain. Kemudian, informasi atau dokumen elektronik yang berisi pembicaraan bermuatan tindak kesusilaan dapat didistribusikan dan diakses. Hal itu tidak dapat dibenarkan.
Maka dari itu, lanjutnya, atas alasan tersebut permohonan PK pemohon atau terdakwa ditolak.