Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengamat : Jika Kekuasaan Menumpuk di Satu Tangan, Namanya Tirani...

Kompas.com - 01/07/2019, 18:23 WIB
Kristian Erdianto,
Fabian Januarius Kuwado

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Ahli hukum tata negara dari Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Juanda berpendapat, kondisi demokrasi di Indonesia akan menjadi tidak sehat apabila sebagian besar partai politik di parlemen mendukung pemerintah.

Pasalnya, setelah calon presiden nomor urut 02 pada Pilpres 2019 Prabowo Subianto membubarkan koalisi parpol pendukungnya, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Demokrat digadang-gadang bergabung ke koalisi pendukung pemerintah.

Apabila hal tersebut terjadi, sebanyak 7 dari 9 parpol di parlemen akan mendukung pemerintah Joko Widodo-Ma'ruf Amin periode 2019-2024.

"Oleh karena itu saya melihat ini adalah sebuah kondisi demokrasi kita tidak sehat," ujar Juanda dalam sebuah diskusi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (1/7/2019).

Baca juga: Sinyal dari PAN dan Demokrat untuk Koalisi Jokowi, Akankah Bersambut?

Sebaiknya, peran oposisi harus tetap dijalankan oleh partai politik non-pendukung pemerintah. Dalam sebuah negara demokrasi, peran oposisi sangat diperlukan untuk mengontrol seluruh kebijakan serta program pemerintah.

Juanda melanjutkan, eksekutif yang didukung kekuatan parlemen yang super dominan juga berpotensi menjadi otoriter.

"Ketika kekuasaan itu menumpuk di dalam satu tangan itu namanya udah tirani dan otoriter absolut akan terjadi," kata Juanda.

Diketahui, Prabowo Subianto secara resmi telah membubarkan Koalisi Indonesia Adil dan Makmur. Keputusan tersebut diambil melalui rapat internal bersama lima sekjen parpol dan sejumlah petinggi partai lainnya di kediaman Prabowo, Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, Jumat (28/6/2019).

Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani menuturkan, dalam rapat tersebut Prabowo mengembalikan mandat dukungan sebagai pasangan capres-cawapres ke masing-masing partai politik.

Baca juga: TKN Anggap Koalisi Prabowo-Sandiaga Tersisa Gerindra dan PKS

Sebab, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus perkara sengketa hasil Pilpres 2019. Dalam putusannya, MK menolak seluruh dalil permohonan yang diajukan oleh tim hukum Prabowo-Sandiaga.

Sementara itu, pengamat politik Universitas Paramadina Hendri Satrio berpendapat bahwa tidak hanya PAN dan Demokrat yang berpeluang bergabung dengan koalisi pendukung pasca-Pilpres 2019.

Menurut Hendri, tak menutup kemungkinan Partai Gerindra akan memutuskan bergabung ke dalam pemerintahan setelah 10 tahun menjadi oposisi.

"Gerindra apakah mungkin? itu mungkin saja terjadi. Memang tergantung Pak Prabowo, tapi 15 tahun menjadi oposisi itu tidaklah mudah," ujar Hendri saat ditemui di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (29/6/2019).

 

Kompas TV Parpol yang tergabung dalam Koalisi Adil Makmur BPN Prabowo Subianto-Sandiaga Uno telah resmi bubar. Partai Gerindra beserta parpol yang pernah mengusung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mewacanakan forum bersama agar komunikasi politik yang telah terbangun dari koalisi selama ini tetap terjaga. Politisi Partai Gerindra, Hendarsam Marantoko, menilai arah dari forum ini tetap akan dibicarakan agar ke depan dapat merealisasikan visi dan misi dari Koalisi Indonesia Adil dan Makmur. #PrabowoSandiaga #KoalisiAdilMakmur #JokowiMarufAmin
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Waketum Gerindra Nilai Eko Patrio Pantas Jadi Menteri Prabowo-Gibran

Waketum Gerindra Nilai Eko Patrio Pantas Jadi Menteri Prabowo-Gibran

Nasional
MKD Temukan 3 Kasus Pelat Nomor Dinas DPR Palsu, Akan Koordinasi dengan Polri

MKD Temukan 3 Kasus Pelat Nomor Dinas DPR Palsu, Akan Koordinasi dengan Polri

Nasional
Paradoks Sejarah Bengkulu

Paradoks Sejarah Bengkulu

Nasional
Menteri PPN: Hak Milik atas Tanah di IKN Diperbolehkan

Menteri PPN: Hak Milik atas Tanah di IKN Diperbolehkan

Nasional
Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Nasional
Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Nasional
Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Nasional
Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Preseden Buruk jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Preseden Buruk jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Nasional
Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih berkat Doa PKS Sahabat Kami

Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih berkat Doa PKS Sahabat Kami

Nasional
Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Nasional
Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Nasional
KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

Nasional
Sebut Prabowo Tak Miliki Hambatan Psikologis Bertemu PKS, Gerindra: Soal Teknis Saja

Sebut Prabowo Tak Miliki Hambatan Psikologis Bertemu PKS, Gerindra: Soal Teknis Saja

Nasional
Saat Jokowi Pura-pura Jadi Wartawan lalu Hindari Sesi 'Doorstop' Media...

Saat Jokowi Pura-pura Jadi Wartawan lalu Hindari Sesi "Doorstop" Media...

Nasional
Dampak UU DKJ, Usia Kendaraan di Jakarta Bakal Dibatasi

Dampak UU DKJ, Usia Kendaraan di Jakarta Bakal Dibatasi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com