JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Azriana Manalu mengungkapkan pemerintah membuang sejumlah pasal terkait Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Komnas Perempuan merupakan salah satu penggagas RUU PKS.
Azriana mengatakan, di awal pihaknya menyerahkan draf RUU dengan total 154 pasal ke DPR.
Kemudian, 100 pasal di antaranya dihilangkan oleh pemerintah saat proses pembahasan.
"Yang agak serius itu yang dibuang pemerintah, itu sampai 100 pasal dibuang, tinggal 52 pasal saja," kata Azriana saat konferensi pers di kantornya, Jakarta Pusat, Rabu (6/2/2019).
Baca juga: DPR dan Pemerintah Diminta Luruskan Hoaks soal RUU PKS
Ia menuturkan bahwa pasal-pasal yang dihilangkan pemerintah cukup membuat RUU tersebut kehilangan tujuan untuk menjadi payung hukum yang revolusioner untuk mengatur kekerasan seksual.
"Pemerintah hanya menyisakan 50 pasal dan itu pun enggak ada terobosannya," jelasnya.
Ia mencontohkan, enam poin penting dalam draf yang diajukan dihilangkan. Keenam poin tersebut terdiri dari pencegahan, hukum acara, pemidanaan, restitusi, pemulihan, dan pemantauan.
Bab soal hukum acara menjadi salah satu yang dihilangkan. Pemerintah, kata Azriana, beralasan poin tersebut sudah tercantum dalam KUHAP.
Namun, ia mengatakan bahwa hak pemulihan bagi korban tak tercantum dalam KUHAP. Oleh karena itu, RUU PKS dibutuhkan untuk mengisi kekosongan hukum tersebut.
Kemudian, sembilan tindak pidana kekerasan seksual dirampingkan menjadi 4 bentuk oleh pemerintah.
Sembilan tindak pidana kekerasan seksual terdiri dari pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Azriana mencontohkan pelecehan seksual yang diganti menjadi pencabulan. Padahal selama ini banyak kasus seperti pelecehan seksual secara verbal yang tidak terakomodasi dalam RUU PKS.
"9 tindak pidana itu bagi Komnas Perempuan jangan dikurangi satu pun, karena kalau dikurangi berarti ada fakta yang tidak bisa disikapi," ungkapnya.
"9 ini diambilnya dari kejadian yang sudah berlangsung, bukan khayalan, ada korbannya, ada kejadiannya, penyikapannya yang belum ada," sambung Azriana.
Bab lain yang ikut dihapus adalah pemulihan dengan alasan sudah tercantum dalam Undang-Undang (UU) tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Baca juga: Ini Poin Penting RUU PKS Menurut Penggagasnya
Kenyataannya, menurut UU tersebut baru dapat memberikan perlindungan kepada korban yang berada dalam proses peradilan.
Di sisi lain, banyak korban yang enggan melaporkan kasusnya ke polisi. Alasannya antara lain, budaya di masyarakat yang kerap kali menyalahkan korban, dan tidak ada perlindungan hukum.
Mengingat pentingnya poin-poin tersebut, Komnas Perempuan terus berusaha melobi pemerintah sambil pembahasan terus berjalan. Harapannya, pasal-pasal krusial tersebut dapat disahkan menjadi UU.