JAKARTA, KOMPAS.com - Kabar bohong atau hoaks dinilai menjadi fenomena yang terjadi karena dampak negatif dari era kebebasan berpendapat dan kemutakhiran teknologi. Masifnya hoaks dianggap sebagai sebuah kebebasan yang kebablasan.
"Hoaks muncul karena kebebasan yang dimiliki masyarakat digunakan secara kebablasan," kata pengamat sosial Univesitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati dalam seminar "Milenial Anti Hoaks" di Vokasi UI, Depok, Jawa Barat, Senin (4/2/2019).
Masyarakat Indonesia, lanjut Devie, banyak menyebarkan hoaks karena ingin dianggap terkenal di media sosial.
Menurutnya, keterkenalan di media sosial dinilai penting bagi sebagian masyarakat untuk mendapatkan perhatian. Namun, pencarian publisitas itu menjadi salah jika cara yang dilakukan adalah dengan menyebarkan hoaks.
Baca juga: Tangkal Hoaks, Polri Sebut Sudah Kunjungi 75 Universitas
Pengamat media sosial Iwan Setyawan menambahkan, masyarakat memilih membuat atau menyebarkan hoaks karena fenomena itu dianggap menarik dan menciptakan dramatisasi di media sosial.
Baca juga: Menjadi Pemilih Pemula, Milenial Harus Diedukasi untuk Menangkal Hoaks
"Hoaks itu selaku seksi, full of drama. Kenapa bisa menyebar secara banyak karena momennya selalu mengagetkan," imbuh Iwan.
Namun, seperti diungkapkan Iwan, kebabasan dalam praktiknya saat ini masih dilakukan secara kebablasan. Hal itu diperparah lantaran tidak adanya sikap kritis masyarakat terhadap informasi yang beredar di media sosial.
"Masyarakat tuh jarang banget untuk menanyakan kebenaran dari sebuah peristiwa atau informasi. Sikap kritis itu penting banget," tegasnya.