Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

OSO Ancam Adukan ke Presiden, KPU Tolak Diintervensi

Kompas.com - 24/01/2019, 09:17 WIB
Fitria Chusna Farisa,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan mengatakan, KPU sebagai lembaga negara tidak bisa diintervensi oleh siapapun.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, KPU bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Keputusan KPU tak bisa diganggu oleh pihak manapun, bahkan oleh Presiden.

Pernyataan Wahyu itu menanggapi rencana Oesman Sapta Odang (OSO) melalui Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), meminta DPR dan Presiden turun tangan dalam pencalonannya sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Menurut pihak OSO, Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara berwenang untuk memerintahkan KPU menjalankan putusan PTUN, memasukan nama OSO ke daftar calon anggota DPD Pemilu 2019.

Baca juga: Formappi: Serangan OSO ke KPU Adalah Dorongan untuk Meraih Kekuasaan

"Bahwa KPU dikontrol dan harus patuh kepada hukum, iya. Tetapi KPU tidak bisa diintervensi oleh siapapun," kata Wahyu saat ditemui di kantor Bawaslu, Jakarta Pusat, Rabu (23/1/2019).

Secara pribadi, Wahyu belum mengetahui adanya regulasi yang memungkinkan presiden mengatur lembaga negara seperti halnya KPU.

Ia mempertanyakan, apakah pernah terjadi dalam sejarah presiden minta lembaga negara yang independen untuk melaksanakan suatu keputusan lembaga peradilan.

"Bisa saja saya keliru, tetapi sepanjang yang saya ketahui kok belum pernah (presiden intervensi lembaga negara independen)," katanya.

Baca juga: 203 Caleg DPD Serahkan Pernyataan Mundur dari Parpol, Hanya OSO yang Tak Mau

Menurut Wahyu, pihak-pihak yang tidak berkenan dengan keputusan yang diambil KPU punya saluran untuk memperjuangkan keberatannya tanpa perlu melibatkan presiden.

Meski demikian, Wahyu mengaku pihaknya bertanggung jawab atas keputusan yang telah diambil, yaitu tetap tidak memasukan nama Oesman Sapta ke daftar calon anggota DPD Pemilu 2019.

OSO minta Presiden turun tangan

Pihak Oesman Sapta Odang (OSO) akan meminta Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) berkirim surat ke presiden dan DPR.

Surat tersebut berupa permohonan kepada presiden dan DPR untuk turun tangan dalam pencalonan OSO sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Langkah ini diambil pihak OSO lantaran sampai sekarang Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak memasukan nama Ketua Umum Partai Hanura itu ke daftar calon anggota DPD.

Harapannya, presiden dan DPR sebagai pejabat tata usaha negara tertinggi dapat memerintahkan KPU untuk mencantumkan nama OSO di daftar calon.

Baca juga: Soal OSO, KPU Bilang Apa Kewenangan Presiden dan DPR Turun Tangan?

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebelumnya telah mengeluarkan putusan atas gugatan yang dilayangkan OSO.

Putusan tersebut memerintahkan KPU mencabut SK DCT anggota DPD yang tidak memuat nama OSO. Majelis Hakim juga meminta KPU menerbitkan DCT baru dengan mencantumkan nama OSO di dalamnya.

Bawaslu juga memerintahkan KPU untuk memasukkan OSO dalam daftar calon anggota DPD dalam Pemilu 2019.

Alih-alih memasukan nama OSO ke DCT, KPU meminta yang bersangkutan mundur dari Ketua Umum Partai Hanura sebagai syarat pencalonan anggota DPD. Namun, hingga batas waktu yang diberikan, yaitu Selasa (22/1/2019) OSO tak serahkan surat pengunduran diri tersebut.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Dalami Laporan Dugaan Pelanggaran Etik, KY Buka Peluang Periksa Majelis Hakim Perkara Gazalba Saleh

Dalami Laporan Dugaan Pelanggaran Etik, KY Buka Peluang Periksa Majelis Hakim Perkara Gazalba Saleh

Nasional
Soal Pihak yang Terlibat Aliran Dana Rp 5 Triliun ke 20 Negara, PPATK Enggan Beberkan

Soal Pihak yang Terlibat Aliran Dana Rp 5 Triliun ke 20 Negara, PPATK Enggan Beberkan

Nasional
Kasus Dana PEN Muna, Eks Dirjen Kemendagri Dituntut 5 Tahun 4 Bulan Penjara

Kasus Dana PEN Muna, Eks Dirjen Kemendagri Dituntut 5 Tahun 4 Bulan Penjara

Nasional
BSSN Akui Data Lama INAFIS Bocor, Polri Akan Lakukan Mitigasi

BSSN Akui Data Lama INAFIS Bocor, Polri Akan Lakukan Mitigasi

Nasional
Anies dan Ganjar Diprediksi Menolak jika Ditawari jadi Menteri Prabowo

Anies dan Ganjar Diprediksi Menolak jika Ditawari jadi Menteri Prabowo

Nasional
Ingatkan Satgas, Kriminolog: Jangan Dulu Urusi Pemain Judi 'Online'

Ingatkan Satgas, Kriminolog: Jangan Dulu Urusi Pemain Judi "Online"

Nasional
Dilema PDI-P di Pilkada Jakarta: Gabung PKS atau Buat Koalisi Baru

Dilema PDI-P di Pilkada Jakarta: Gabung PKS atau Buat Koalisi Baru

Nasional
Jelang Pilkada, Baharkam Polri Minta Jajaran Petakan Kerawanan dan Mitigasi Konflik

Jelang Pilkada, Baharkam Polri Minta Jajaran Petakan Kerawanan dan Mitigasi Konflik

Nasional
PPATK Ungkap Lebih dari 1.000 Anggota Legislatif Main Judi Online

PPATK Ungkap Lebih dari 1.000 Anggota Legislatif Main Judi Online

Nasional
Bawaslu Luncurkan Posko Kawal Hak Pilih Pilkada Serentak 2024

Bawaslu Luncurkan Posko Kawal Hak Pilih Pilkada Serentak 2024

Nasional
KY Terima Laporan KPK terhadap Majelis Hakim Perkara Gazalba Saleh

KY Terima Laporan KPK terhadap Majelis Hakim Perkara Gazalba Saleh

Nasional
Belum Sentuh Bandar, Satgas Pemberantasan Judi Online Dianggap Mengecewakan

Belum Sentuh Bandar, Satgas Pemberantasan Judi Online Dianggap Mengecewakan

Nasional
Mempermainkan Hukum sebagai Senjata Politik

Mempermainkan Hukum sebagai Senjata Politik

Nasional
KPK Duga Korupsi Bansos Presiden Rugikan Negara Capai Rp 125 Miliar

KPK Duga Korupsi Bansos Presiden Rugikan Negara Capai Rp 125 Miliar

Nasional
Jadi Tersangka Korupsi, Eks Sestama Basarnas Mundur dari Kepala Baguna PDI-P

Jadi Tersangka Korupsi, Eks Sestama Basarnas Mundur dari Kepala Baguna PDI-P

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com