Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Publik Diharap Belajar Dampak Permainan Politik Identitas di Masa Lalu

Kompas.com - 08/12/2018, 00:29 WIB
Dylan Aprialdo Rachman,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Penggunaan politik identitas sudah berlangsung sejak lama. Budayawan M Sobary mengatakan, salah satu faktor yang mendorong kemunculan Dekrit Presiden 9 Juli 1959 oleh Soekarno waktu itu adalah pertarungan politik identitas yang begitu keras.

"Di zaman itu, politik identitas saya kira sudah sangat keras tampak mewujud tapi kita tidak terlalu pandai dulu, tidak terlalu analitik untuk menyebut itu politik identitas. Karena ajaran antropologi politik baru muncul akhir-akhir ini," kata Sobary dalam diskusi Mekanika Elektoral dalam Arus Politik Identitas di PARA Syndicate, Jakarta, Jumat (7/12/2018).

"Identitas ini yang dipakai untuk mainan dalam politik, saat itu ketika ketegangan di sidang Konstituante dengan ketegangan macam itu, Bung Karno merasa yang paling bertanggung jawab dan menyatakan Dekrit Presiden itu," lanjutnya.

Baca juga: SBY: Politik Identitas Makin Mengemuka Setelah Pilkada DKI Jakarta

Sobary melihat dekrit tersebut juga bagian upaya Soekarno agar masyarakat tak bersikap ekstrem ke sayap kiri maupun kanan.

Politik identitas juga dimanfaatkan dalam pemberontakan yang dilakukan oleh DI/TII, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) serta Permesta.

"Orang-orang yang radikal itu tidak mendukung nama-nama keagamaannya waktu itu. Yang menarik ini karena itulah yang dipakai identitas yang sudah dipakai sebagai kekuatan politik," kata dia.

"Kemudian marilah kita masuk ke wilayah menjelang tahun 1964 memang waktu itu ada pujaan terhadap Bung Karno yang dahsyat tetapi ada dahsyat yang lain lagi. Waktu itu ada ganyang-mengganyang. Ini semuanya identitas ini sudah tua tidak bisa dimudakan," lanjut Sobary.

Baca juga: Politik Identitas Diyakini Tak Berkembang di Pileg 2019

Sobary mengingatkan alih-alih politik identitas digunakan untuk menata keadaan pada waktu itu, justru malah menimbulkan kekacauan. Apalagi, ketika berurusan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Zaman itu, lanjut dia, disebut zaman keretakan budaya.

Oleh karena itu, Sobary meminta publik untuk belajar dari masa lalu. Politik identitas haruslah disikapi dengan hati-hati. Sebab, permainan politik identitas pada kontestasi politik saat ini merupakan cara lama dengan kemasan yang baru.

"Mari mulai menganalisis perkara ini, bahwa ini perkara basi yang dikemas di atas piring-piring Perancis yang bagus-bagus. Jadi itu (contoh dampaknya) sudah ada, jadi sekarang ini kita tidak konyol hanya karena mengikuti orang yang konyol di masa lalu," paparnya.

"(Malah) tidak mengikuti (impian) Bung Hatta yang justru mengharapkan, zaman besar seperti ini, momen besar seperti ini hendaknya lahir orang besar dan memberi jawaban solusi-solusi besar untuk bangsa," kata Sobary.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Soal 'Presidential Club' Prabowo, Bamsoet Sebut Dewan Pertimbangan Agung Bisa Dihidupkan Kembali

Soal "Presidential Club" Prabowo, Bamsoet Sebut Dewan Pertimbangan Agung Bisa Dihidupkan Kembali

Nasional
KPK Periksa Dirut Nonaktif PT Taspen Antonius Kosasih

KPK Periksa Dirut Nonaktif PT Taspen Antonius Kosasih

Nasional
KPU Ungkap 13 Panitia Pemilihan di Papua Tengah yang Tahan Rekapitulasi Suara Berujung Dipecat

KPU Ungkap 13 Panitia Pemilihan di Papua Tengah yang Tahan Rekapitulasi Suara Berujung Dipecat

Nasional
Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen, Jokowi: Negara Lain Masuk Jurang, Kita Naik

Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen, Jokowi: Negara Lain Masuk Jurang, Kita Naik

Nasional
Eks Anak Buah SYL Beri Tip untuk Paspampres, Gratifikasi Disebut Jadi Kebiasaan

Eks Anak Buah SYL Beri Tip untuk Paspampres, Gratifikasi Disebut Jadi Kebiasaan

Nasional
TPN Resmi Dibubarkan, Hasto Tegaskan Perjuangan Tetap Dilanjutkan

TPN Resmi Dibubarkan, Hasto Tegaskan Perjuangan Tetap Dilanjutkan

Nasional
Kelakar Jokowi soal Kemungkinan Pindah Parpol Usai Tak Dianggap PDI-P

Kelakar Jokowi soal Kemungkinan Pindah Parpol Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
 Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Nasional
Satu Pejabat Pemprov Malut Jadi Tersangka Baru Kasus Gubernur Abdul Ghani Kasuba

Satu Pejabat Pemprov Malut Jadi Tersangka Baru Kasus Gubernur Abdul Ghani Kasuba

Nasional
RI Ajukan Penyesuaian Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae ke Korsel, Kemenhan Jelaskan Alasannya

RI Ajukan Penyesuaian Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae ke Korsel, Kemenhan Jelaskan Alasannya

Nasional
 Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian, Jokowi Klaim Tak Beri Masukan

Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian, Jokowi Klaim Tak Beri Masukan

Nasional
Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jemaah Indonesia

Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jemaah Indonesia

Nasional
Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang 'Toxic', Jokowi: Benar Dong

Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang "Toxic", Jokowi: Benar Dong

Nasional
Ganjar Harap Buruknya Pilpres 2024 Tak Dikloning ke Pilkada

Ganjar Harap Buruknya Pilpres 2024 Tak Dikloning ke Pilkada

Nasional
Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pengamat Intelijen: Masyarakat Harus Beri Dukungan untuk Perbaikan

Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pengamat Intelijen: Masyarakat Harus Beri Dukungan untuk Perbaikan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com