Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Julang Sulawesi dan Pohon Raja, Maskot Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional 2018

Kompas.com - 05/11/2018, 18:55 WIB
Aswab Nanda Pratama,
Bayu Galih

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional (HCPSN) selalu diperingati pada 5 November. Setiap tahun, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kementerian LHK) menentukan tema dan kegiatan tertentu.

Peringatan ini sebagai upaya untuk mengubah kesadaran dan kecintaan penduduk Indonesia dalam meningkatkan kepedulian, perlindungan, serta pelestarian puspa dan satwa nasional agar tak mengalami kepunahan.

Berbagai upaya bisa dilakukan, salah satunya adalah dengan menjaga ekosistem tetap seimbang agar manusia dan alam bisa hidup berdampingan.

Selain itu, juga ada upaya melarang penembakan atau perburuan burung dengan cara apa pun di seluruh kawasan Indonesia tanpa kecuali.

Harian Kompas edisi 16 November 1993 menulis, pada awalnya konsep dari peringatan ini digagas oleh Presiden Soeharto dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1993.

Soeharto mengajak kepada penduduk Indonesia pada umumnya untuk bisa melestarikan lingkungan hidup.

Presiden kedua RI itu juga mengajak semua lapisan masyarakat untuk menyukseskan gerakan satu juta pohon di setiap provinsi. Di samping itu, taman-taman kota perlu ditanami dengan berbagai jenis tanaman, baik yang langka, khas daerah, maupun tanaman yang berkaitan dengan siklus ekologis.

"Dengan menanam pohon di sekitar kehidupan kita masing-masing, maka paru-paru kota akan bertambah luas dan berbagai jenis burung dapat dilestarikan," ucap Soeharto, saat itu.

Terlepas dari itu semua, sampai sekarang pemerintah masih selalu memperingati kegiatan tersebut. Uniknya, setiap tahun juga dipilih dua maskot yang menjadi ikon perayaan Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional.

Pada 2018, tema yang diambil adalah "Mari Selamatkan Puspa dan Satwa Indonesia".

Maskot HCPSN

Dalam akun Twitter resmi @KementerianLHK, Kementerian memilih dua maskot fauna dan flora HCPSN. Untuk fauna dipilih burung julang sulawesi, sedangkan flora yang dipilih adalah pohon raja.


Burung Julang sulawesi (Rhyticeros cassidix) merupakan endemik di Sulawesi yang mempunyai ciri utama cula besar seperti tanduk yang terletak pada paruhnya.

Cula atau tanduk besar ini memiliki dua warna, merah untuk jantan dan kuning untuk betina.

Dewasa ini, burung ini mendapat ancaman yang cukup serius. Perburuan liar yang mengincar paruh menjadikan burung ini semakin sedikit di ekosistemnya.

Oleh karena itu membahayakan kelangsungan hidup dari spesies endemik ini mengingat regenerasi burung ini terhitung lambat.

Sedangkan pohon raja (Coompassia excelsa) dikenal dengan istilah pohon tualang dan pohon tapang. Tumbuhan ini mampu hidup di dataran rendah tropis hingga ketinggian 3.000 meter di atas permukaan laut.

Pohon ini memiliki persebaran di Kalimantan sampai Malaysia, Filipina, Thailand, Laos, Vietnam, dan Kamboja.

Memiliki umur hingga ratusan tahun, maka tak heran batang pohon ini digunakan sebagai bahan bangunan, kerajinan, dan bisa dimakan kulit kayunya yang digunakan sebagai obat.

Pohon raja memiliki diamater mencapai 2,7 meter dan tingginya 80 meter. Di Kalimantan, tanaman ini sangat dilindungi oleh penduduk karena cabangnya berfungsi sebagai rumah tawon madu yang madunya dapat diproses dalam periode tertentu sebagau obat dan pendapatan penduduk.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com