JAKARTA, KOMPAS.com - Pasca-gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah, 74.444 warga masih mengungsi di 147 titik.
Sehari-harinya, warga beraktivitas di tenda-tenda darurat yang didirikan di lapangan, halaman masjid, hingga lahan kosong.
Memasuki H+11 bencana, warga mulai terserang penyakit pneumonia atau infeksi paru-paru, dan diare.
Mengatasi hal tersebut, tim medis melakukan disinfeksi di kawasan permukiman, setelah sebelumnya melakukan disinfeksi di wilayah rumah sakit.
Baca juga: Jemput Warga Garut dari Palu, Wabup Usul Ada Diskon Ongkos Pesawat
Sejak masa awal tanggap darurat bencana, tim medis telah dikerahkan untuk penanganan korban dan jenazah.
Baca juga: TNI Temukan Brankas Berisi Rp 1 Miliar di Reruntuhan Gereja di Sigi
Hingga kini, jumlahnya juga masih terus bertambah.
Tercatat, ada 1.175 orang personel kesehatan yang telah bertugas di lapangan, terdiri atas 278 dokter umum, 121 dokter spesialis, 527 perawat, 15 penata anastesi, 15 farmasi, 21 bidan, dan 198 non medik/paramedik.
Meski banyak rumah sakit yang rusak akibat bencana, saat ini telah difungsikan 14 dari 33 rumah sakit yang ada.
Selain di rumah sakit, pelayanan kesehatan juga dilakukan di lapangan dan tenda-tenda darurat.
"Rumah sakit yang rusak, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menyiapkan fasilitas darurat untuk kesehatan," ujar Sutopo.
Baca juga: Barak Pengungsi Segera Dibangun di Palu, Sigi dan Donggala
Bantuan kesehatan juga terus disalurkan, mulai dari obat-obatan, ambulans darurat, tandu, hingga alat bantu disabilitas.
Meski demikian, ditemukan sejumlah kendala di lapangan seperti keterbatasan akses ke Kabupaten Sigi yang menyulitkan bantuan pelayanan dan logistik kesehatan.
Sampah medis yang menumpuk di rumah sakit dan sampah domestik juga semakin menggunung di jalanan sehingga menimbulkan bau menyengat.
Tumpukan sampah tersebut menjadi tempat perkembanganbiakan lalat, kecoa, dan virus.