JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman meyakini, money politics atau politik uang di pemilu 2019 akan kian berkurang. Itu bisa terjadi lantaran sudah ada perubahan pola pikir pemilih.
"Dulu caleg nyari pemilih untuk diberi money politics. Dalam berbagai riset, kultur itu sebenarnya sudah terbalik," ujar Arief di Kantor CSIS, Jakarta, Kamus (27/9/2018).
"Kalau sekarang caleg sudah mikir 'enggak ah enggak saya beri karena saya beri banyak pun enggak akan laku'," sambung dia.
Baca juga: Ansor-Banser Ungaran Deklarasi Anti Money Politics di Pemilu 2019
Saat ini, tutur dia, pemilih sudah punya pola pikir yang jauh berbeda. Pemberian hadiah tak menjamin si pemilih akan memilih si pemberi.
Lantaran hal itu, Arief yakin para caleg akan memilih untuk menggunakan langkah strategis dengan "jualan" gagasan, program dan visi misi agar bisa terpilih.
Sebelumnya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) merilis Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) 2019 pada Selasa (25/9/2018). Salah satu hal yang dipetakan dari indeks tersebut yakni terkait politik uang.
Ketua Bawaslu Abhan mengatakan masih rawannya pemilu 2019 oleh politik uang disebabkan oleh sejumlah faktor.
Pertama, kenaikan ambang batas parlemen dari 3,5 persen dari jumlah suara sah di pemilu 2014 menjadi 4 persen di pemilu 2019.
"Tentu ini membuat kontestasi begitu ketat," ujarnya di Hotel Bidakara, Jakarta, Selasa (25/9/2018).
Baca juga: Nasdem: Money Politics Sudah Kuno, Program Brilian adalah Zaman Now..
Kedua, karena sistem proporsional terbuka masih dijalankan di dalam sistem pemilu. Penggunaan sistem tersebut dinilai membuat pertarungan antarcaleg kian kuat. Tak hanya dengan partai lain, namun juga caleg dari partai yang sama.
Caleg yang punya segudang dana dinilai bisa menang meski tak mempunyai visi dan tak memegang teguh ideologi partainya.
Seperti diketahui, dengan sistem proporsional terbuka, rakyat berdaulat penuh atas caleg yang dipilihnya. Siapa yang paling banyak dipilih rakyat, maka dialah yang akan duduk di legislatif.