JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menekankan pentingnya seluruh elite politik dan elemen masyarakat untuk tak melakukan kegiatan-kegiatan terselubung yang mengarah pada kampanye sebelum periode kampanye Pilpres 2019 dimulai.
Hal itu menyikapi konflik di beberapa daerah antara masyarakat pendukung gerakan tagar #2019GantiPresiden dan masyarakat yang menolak gerakan tersebut.
Titi menjelaskan, gerakan tersebut tak dilarang dalam Undang-undang Pemilu, namun ia menilai tagar seperti itu rentan mengarah pada kepentingan kampanye. Dengan demikian, ia menekankan pentingnya seluruh pihak menahan diri dari aktivitas semacam itu.
"Kalau tidak bisa menahan diri sampai periode resmi kampanye, maka akan berpotensi menimbulkan benturan dan perpecahan ataupun kekerasan di lapangan," kata Titi kepada Kompas.com, Senin (27/8/2018).
Baca juga: Deklarasi #2019GantiPresiden Dilarang Polisi, Luhut Tepis Pemerintah Anti Kritik
Pasalnya, kata dia, polarisasi akibat perbedaan politik di masyarakat belakangan ini harus segera ditekan guna menghindari terjadinya konflik yang berkepanjangan.
"Akan baik kalau semua pihak dan para elite politik bisa menahan diri dari ekspos-ekspos kegiatan yang sesungguhnya mengarah pada aktivitas kampanye," tegasnya.
Di sisi lain, Titi melihat konflik seperti itu disebabkan lemahnya kemampuan elite politik dalam membangun narasi yang positif.
"Elite politik kita kan juga mewarnai narasi ruang publik dengan provokasi-provokasi yang pada akhirnya ikut membelah massa di akar ruput," kata dia.
Ia menilai situasi itu juga tak membangun pendidikan politik di kalangan masyarakat akar rumput. Sehingga, mereka kesulitan membangun kedewasaan dalam berpolitik dengan pandangan atau pilihan yang berbeda.
Titi juga menyoroti sikap elite politik yang tak bicara adu gagasan dan program yang diusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Hal ini berdampak pada lemahnya kemampuan publik mempelajari visi, misi, rekam jejak, hingga program pasangan calon.
"Karena bicara melulu soal orang, ya akhirnya terpolarisasi dengan bumbu-bumbu kebencian yang menguat," katanya.
Perjelas aturan
Sementara itu, ia juga berharap agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk memperjelas aturan soal gerakan seperti ini. Titi memandang mereka yang menggaungkan tagar ini bermain di celah kosong yang tak terjangkau oleh Undang-undang Pemilu.
"Sebab, pengaturan soal aktivitas kampanye, misalnya, sebatas ketika sudah ditetapkan adanya pasangan calon. Kalau belum ada pasangan calon dianggap celah yang bisa diakali untuk mendorong bakal paslon tertentu sebelum periode kampanye dimulai," ujarnya.
Pengaturan yang jelas guna menghindari benturan di antara masyarakat akibat penggunaan tagar layaknya #2019GantiPresiden.
Baca juga: Bawaslu: Deklarasi #2019GantiPresiden Bukan Kampanye, tapi Harus Tertib Aturan
"Ini bukan bentuk pelarangan kebebasan berpendapat, namun diperlukan pengaturan yang lebih jelas dari KPU dan Bawaslu agar bisa menghindari terjadinya benturan dan ekspresi kebencian di antara kedua belah pihak yang berbeda pendapat," kata dia.
Celah kosong tersebut, kata dia, semakin dimanfaatkan ketika calon pasangan presiden dan wakil presiden tak lebih dari dua pasangan.
Menurut Titi, mereka berlindung di balik tagar yang tak menyebutkan nama calon. Alhasil, pendekatan narasi yang dibangun juga cenderung memainkan isu-isu negatif daripada visi, misi, dan program kerja pasangan calon.