oleh:
Abdil Mughis Mudhoffir dan Andi Rahman Alamsyah
DUA DEKADE demokratisasi di Indonesia ditandai oleh kehadiran para aktivis masyarakat sipil dalam politik formal. Mereka berasal dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau merupakan mantan demonstran mahasiswa dan bagian kelompok intelektual progresif.
Setelah gerakan Reformasi 1998 berhasil menumbangkan rezim otoriter Soeharto, para aktivis masyarakat sipil mulai mengubah strategi mereka. Mereka berupaya untuk mereformasi kondisi sosial, ekonomi, dan politik Indonesia dari dalam, menggantikan strategi lama “perjuangan dari luar”.
Banyak mantan aktivis yang masuk partai-partai politik besar untuk menjadi anggota parlemen atau kepala daerah. Sebagian ada yang diangkat sebagai pejabat negara atau komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Kebanyakan dari mereka menempati posisi sebagai staf khusus—sebuah posisi yang fleksibel dalam hal status pekerjaan, fungsi, karier, dan insentif finansial—di partai-partai politik, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau kantor-kantor pemerintah.
Para aktivis dan intelektual yang mendukung Joko Widodo (Jokowi) pada Pemilihan Presiden 2014 juga banyak yang diangkat sebagai pejabat negara, terutama di Kantor Staf Presiden (KSP), atau sebagai anggota dewan komisaris di berbagai BUMN.
Praktik ini mirip dengan yang terjadi di bawah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, pendahulu Jokowi.
Banyak aktivis yang kini juga bergabung dengan salah satu partai politik baru, Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Disebut-sebut sebagai "partai millennial", dipimpin oleh mantan pembaca berita TV yang didukung oleh anggota-anggota muda, mereka juga bercita-cita melakukan perubahan dari dalam.
Namun, kehadiran para mantan aktivis itu tampaknya gagal dalam mewujudkan perubahan fundamental untuk memperbaiki kualitas demokrasi. Ini berlaku terutama dalam isu-isu hak asasi manusia, layanan publik, dan korupsi, menurut beberapa studi yang diterbitkan dalam jurnal sosial politik, Prisma.
(Baca juga: Politik Identitas Terkubur di Era Orde Baru, Menguat Pasca-Reformasi)
Gagal mendorong berbagai reformasi
Selama dua dekade terakhir pada dasarnya demokrasi sudah menjauh dari prinsip-prinsip demokrasi liberal yang terutama dicirikan oleh supremasi hukum dan pelindungan hak-hak asasi manusia.
Kita bisa saksikan hal tersebut terjadi dalam "normalisasi" korupsi dan politik uang, meningkatnya kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas, meningkatnya konflik di sektor agraria, bahkan peningkatan penggunaan politik identitas maupun maraknya vigilantisme.
Dari "dalam sistem", para mantan aktivis belum mampu mendesak pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus lama hak asasi manusia dan kekerasan negara.
Ini termasuk kekerasan dan pembunuhan terhadap para mahasiswa selama demonstrasi 98—sekalipun sebagian dari mereka atau kawan-kawan mereka menjadi korban dalam kasus-kasus tersebut.
Kita juga tidak tahu bagaimana para mantan aktivis berkontribusi dalam mempercepat kinerja BUMN. Sebagian dari BUMN tersebut mencatat kerugian.
(Baca juga: Dulu Ingin Reformasi, Mengapa Kini Parpol Buka Pintu TNI-Polri Kembali ke Politik?)