JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Bidang Politik Dalam Negeri Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Priyo Budi Santoso, melihat menguatnya politik identitas belakangan ini cenderung mengkhawatirkan.
Sejak Orde Baru berakhir, kekuatan politik identitas telah terkubur sejak lama, namun bangkit dan menguat dalam kurun waktu terakhir ini.
Priyo mengungkapkan, Pemilihan Umum 1955 menjadi salah satu barometer pemilu yang demokratis pada waktu itu. Namun demikian, setiap parpol menganut aliran politik yang begitu kental.
"Parpol betul-betul terfragmentasi antara kubu Islam, nasionalis, macam-macam. Dan sekarang yang terjadi, ketika reformasi digulirkan sudah tidak kentara lagi," kata Priyo dalam diskusi
(Baca juga: Politik Identitas Dikhawatirkan Terulang pada Pilkada 2018 dan Pemilu 2019)
Era reformasi, kata Priyo, membuat partai-partai menyamarkan identitasnya, seperti partai dengan identitas keagamaan yang juga mengaku nasionalis, dan partai nasionalis yang mengaku religius.
Namun, sikap itu tidak terlihat di tingkat masyarakat. Justru politik identitas belakangan ini semakin menguat.
"Politik identitas itu memang seringnya terjadi berpusat pada politik merasa sebagai identitas bersama, ada perasaan ke-kita-an, yang jadi perekat dari suatu kelompok," kata Priyo.
Hal itu ditunjukkan dengan bangkitnya sejumlah kelompok dengan aliran identitas tertentu yang sebelumnya terpinggirkan. Fenomena tersebut, kata Priyo, dapat terlihat selama proses Pilkada DKI Jakarta 2017 berlangsung.
Menurut dia, penyebabnya adalah reaksi sekaligus dipicu oleh pemujaan yang berlebihan terhadap figur dan kelompok identitas.
"Begitu mendapat kesempatan, kemudian juga dipicu oleh pemujaan yang berlebihan. Dan tanpa disadari organ-organ negara langsung ikut menyempurnakan peristiwa ini," kata mantan Wakil Ketua DPR ini.
Jika dulu politik identitas hanya milik kelompok tertentu, sekarang secara tidak sadar fungsi media sosial dan pemanfaatan organ negara membuat kelompok identitas semakin mendapatkan dukungan dari silent majority. Akibatnya, timbul gesekan yang cukup kuat di kalangan masyarakat.
"Ini menyebabkan kelompok ini mendapatkan dukungan dari silent majority yang dulunya moderat, ikut kemudian ngebelain. Sehingga terjadi pembelahan yang cukup menganga pada masyarakat. Itu tidak diikuti dengan pembelahan di parpol. Kentara sekali," ucap Priyo.
(Baca juga: Bawaslu Tambah Politik Uang dan Politik Identitas Jadi Indikator Kerawanan Pemilu)
Priyo menilai, menguatnya politik identitas disebabkan adanya momentum untuk bangkit ketika sudah lama terpinggirkan yang menyebabkan adanya rasa kebersamaan dan senasib.
"Gerakan membela rasa keadilan karena sering diposisikan terpinggirkan, disebut tidak nasionalis, kurang toleran bertumpuk sehingga menyebabkan ada keterpanggilan kesamaan," ujar Priyo.
Priyo memperkirakan pengaruh politik identitas ini tak hanya menguat pada Pilkada Serentak 2018, melainkan juga Pileg dan Pilpres 2019.
Priyo berharap agar pemerintah dan seluruh elemen masyarakat bisa saling menjaga dan berupaya meredam politik identitas ini demi terciptanya stabilitas yang kuat di dalam negeri.