JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi II DPR RI Lukman Edy mengatakan, petahana yang maju dalam kontestasi pemilihan kepala daerah (pilkada) merupakan salah satu potensi konflik.
Oleh karena itu, agar tidak menjadi konflik aktual, maka DPR pun telah memberikan rambu-rambu khusus bagi petahana ini dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
"Petahana ini memiliki potensi besar membuat konflik yang ada di bawah," kata Lukman dalam diskusi di Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Selasa (7/11/2017).
Lukman mengatakan, dalam sebuah kunjungan kerja, ia sempat diprotes oleh salah satu bupati di Bali mengenai banyaknya larangan bagi petahana dalam UU Pilkada.
Bupati yang bersangkutan merasa DPR memiliki kecurigaan yang berlebih terhadap para petahana.
Lukman pun menjawab bahwa DPR memang sengaja membuat banyak sekali rambu-rambu bagi petahana. Dia juga mengiyakan, rasa curiga DPR terhadap petahana sangat tinggi.
"Karena memang Komisi II ini hampir 60 persen mantan bupati, mantan gubernur. Jadi, tahu betul praktik-praktik kecurangan-kecurangan petahana. Sebagai pelaku soalnya kan?" kata politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu.
(Baca juga: Tiga Alasan Mengapa Potensi Konflik Pilkada Serentak 2018 Sangat Tinggi)
Dengan pengalaman sebagai bupati dan gubernur, anggota Komisi II paham betul praktik-praktik yang dilakukan kepala daerah selama ini. Oleh karena itu, Pasal 71 dalam UU Pilkada pun mengatur banyak larangan bagi petahana.
Lukman berharap, agar petahana ini tidak menjadi sumber konflik dalam pilkada, maka sosialisasi Pasal 71 UU Pilkada harus lebih gencar dilakukan KPU RI dan Bawaslu RI.
"Karena rambu-rambu yang kami buat itu berpotensi untuk multitafsir, dan berpotensi juga untuk dipakai oleh lawan-lawan petahana," kata dia.
Selain itu, Lukman juga berpendapat kalau perlu KPU RI maupun Bawaslu RI membuat peraturan internal guna menjelaskan lebih detil perihal Pasal 71 dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 ini.
Pasal 71 Ayat (2) melarang gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan wali kota atau wakil wali kota melakukan penggantian pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.
Pasal 71 Ayat (3) melarang gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan wali kota atau wakil wali kota menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri, maupun di daerah lain dalam waktu enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 71 Ayat (2) dan Pasal 71 Ayat (3) sebagaimana diatur dalam Pasal 71 Ayat (5), akan dikenakan sanksi berupa pembatalan petahana sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.