JAKARTA, KOMPAS.com - Masyarakat harus mengedepankan akal pikiran dan hati nuraninya dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara di era modernisasi sekarang ini.
Selain itu, masyarakat harus mampu mengontrol hasrat atau keinginannya sehingga terwujud kehidupan yang nyaman bagi seluruh manusia.
Hal ini disampaikan Ketua Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (NU) Ali Maskur Musa dalam diskusi yang digelar oleh Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia Nahdlatul Ulama (LESBUMI) NU bertajuk "Meneguhkan Kebudayaan Bangsa, Memperkuat Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia" di bilangan Condet, Jakarta Timur, Sabtu (21/10/2017).
"Dalam kehidupan modern yang terpenting sekarang mengembalikan rasa, hatinya, nafsu/keinginan, dan akal," kata Ali.
Menurut dia, tingkah laku manusia di era modern saat ini kerap tidak seimbang antara hati dan pikirannya. Padahal, ini dapat berujung pada kerugian bagi manusia itu sendiri.
Ia mencontohkan, tindakan manusia yang tak menyeimbangkan hati dan pikirannya itu pada soal reklamasi teluk Jakarta.
"Reklamasi adalah bentuk semangat ekspolitasi alam yang tak menyeimbangkan tadi (hati, akal, dan keinginan)," kata dia
Menurut dia, pada reklamasi tercermin hasrat atau keinginan berlebihan dari sifat manusia yang sedianya harus dikontrol.
"Ini bagian dari 'binatang-binatang' ekonomi yang mengejar keangkuhan. 'Saya yang paling kaya, hebat, dan tidak ada satu pun pemerintah yang tidak dikuasai pemilik modal'," ujarnya.
Baca juga : Tolak Densus Tipikor, Apa Wapres Tahu Seluk Beluk Korupsi?
Sementara itu, tokoh Hindu, I Made Suparta menilai, kesenjangan sosial timbul karena terasingkannya peranan hati nurani dalam kehidupan manusia
"Ada yang sangat senjang di antara kita, kenapa kita bisa mengalami berbagai keguncangan dalam kehidupan sosial? Ada bahasa hati dan rasa yang tak ditransformasikan sepenuhnya oleh kita kepada generasi dan elit politik yang main di panggung bangsa kita. Ada baiknya kita memulai dengan rasa," kata Suparta.