JAKARTA, KOMPAS.com - Widyaiswara Badan Diklat Kejaksaan, Adnan Paslyadja, menganggap hal-hal di luar obyek praperadilan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan tidak bisa diuji dalam sidang praperadilan.
Hal tersebut dia sampaikan dalam sidang praperadilan yang diajukan Ketua DPR RI Setya Novanto.
Biro Hukum KPK menanyakan, apakah keabsahan status penyelidik dan penyidik serta pencegahan bepergian keluar negeri termasuk bisa diuji dalam sidang tersebut.
Adnan menegaskan bahwa dua hal itu tak bisa diputuskan dalam praperadilan.
"Dalam KUHAP, yang dicari dalam praperadilan adalah obyek praperadilan. Itulah yang bisa diputus dalam praperadilan. Kalau di luar itu tidak bisa," ujar Adnan dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (27/9/2017).
(Baca juga: Ahli: KPK Berhak Cegah Saksi Bepergian ke Luar Negeri)
Berdasarkan Pasal 77 huruf a KUHAP, cakupan praperadilan menguji sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
Obyek praperadilan kemudian diperluas dengan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 21/PUU-XII/2014, yang menyatakan penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan bisa diuji melalui praperadilan.
Sebelumnya, tim pengacara Setya Novanto mengajukan keberatan atas status penyelidik dan penyidik KPK yang bukan berasal dari Polri dan kejaksaan.
Mereka menganggap produk penyelidikan dan penyidikan yang dikeluarkan juga tidak sah, termasuk penetapan tersangka Novanto.
Selain itu, pihak pengacara juga keberatan dengan pencegahan Novanto ke luar negeri. KPK dianggap sewenang-wenang dengan memasukkan nama kliennya dalam daftar cegah.
Padahal, status Novanto saat itu merupakan saksi dari tersangka pengusaha Andi Agustinus dalam perkara dugaan korupsi pengadaan e-KTP. KPK dianggap tidak punya bukti kuat mengenai keterlibatan Novanto dalam kasus itu.
(Baca juga: Sidang Praperadilan Novanto, KPK Bawa 200 Dokumen termasuk BAP Saksi)
Setya Novanto mengajukan gugatan praperadilan atas penetapan tersangka oleh KPK pada kasus korupsi pengadaan KTP elektronik atau e-KTP. Dia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 17 Juli 2017 lalu.
Ketua Umum Partai Golkar itu diduga menguntungkan diri atau orang lain atau korporasi dan menyalahgunakan kewenangan dan jabatan, pada kasus e-KTP.
Novanto sewaktu menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR diduga ikut mengatur agar anggaran proyek e-KTP senilai Rp 5,9 triliun disetujui oleh anggota DPR.
Selain itu, Novanto diduga mengondisikan pemenang lelang dalam proyek e-KTP. Bersama pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, Novanto diduga ikut menyebabkan kerugian negara Rp 2,3 triliun.