KALAU wartawan tulis sudah menikmati kecanggihan komputer sejak Olimpiade Seoul 1988, Wartawan foto Kartono Riyadi (alm) dan rekan-rekannya masih tetap berjuang ke bandara setiap ada liputan.
Mereka baru menikmati kecanggihan teknologi lima tahun kemudian yaitu saat liputan SEA Games Singapura tahun 1993.
Baca: Kisah Pengiriman Berita Pertama Melalui Internet di Redaksi Kompas
Mantan wartawan Kompas Mamak Sutamat menuturkan kisah ini dalam bukunya "Kompas, Menjadi Perkasa Karena Kata".
Ceritanya, pada 1993 sejumlah wartawan ditugaskan berangkat ke Singapura untuk meliput SEA Games. Totok Purwanto, wartawan olahraga, berangkat belakangan karena harus menunggu sebuah alat untuk mengirim foto melalui sambungan Internet yang dijanjikan Kantor Berita Antara.
Alat yang ditunggu ini adalah alat canggih saat itu, sekelas kantor berita UPI (United Press Internasional). Lisensi penjualannya ada pada Kantor Berita Antara dan tidak mudah mendapatkannya.
Kompas mendapatkan alat ini mepet dengan waktu keberangkatan Totok. Alhasil, Totok harus belajar kilat menggunakan alat yang beratnya mencapai 30 kg tersebut.
Itu hanya alat untuk mengirim foto. Di kantor, JB Suratno, wartawan foto, juga belajar kilat dengan alat penerimanya.
Sudah alatnya berat, kantor Bea Cukai di Bandara Soekarno-Hatta tidak meloloskan peralatan ini karena harus didaftarkan dulu. Prosesnya berbelit-belit. Totok nyaris ketinggalan pesawat.
Beruntung, pesawat Garuda mengalami gangguan teknis sehingga keberangkatan diundur dua jam. Dengan napas tersengal, Totok masuk pesawat sambil menenteng beban 30 kg peralatan foto.
Malam harinya di Singapura, peralatan foto dioperasikan. Semua prosedur dilakukan dan Jakarta siap menerima. Tapi, tidak satu pun foto bisa terkirim.
Baru berjalan 30 persen, saluran terputus. Baru jalan 20 persen, putus lagi. Sudah jalan 80 persen, putus lagi.
Arloji menunjukkan pukul 23.00. Deadline.
“Saya grogi dan merasa bersalah. Jangan-jangan dalam pelatihan kemarin ada yang lupa diajarkan, sehingga pengoperasian tombol-tombolnya tidak pas,” kisah Totok.
Lelah dan putus asa karena terus gagal hingga empat jam, Totok pun mengajak Kartono Riyadi makan.