JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis hakim menjatuhkan hukuman delapan bulan penjara dan denda Rp 1 miliar atau subsider 1 bulan penjara terhadap Fidelis Ari Sidarwoto (36), terdakwa kasus kepemillikan ganja.
Hukuman tersebut dianggap jauh dari keadilan karena tak mempertimbangkan alasan Fidelis menanam ganja.
Peneliti senior Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju menganggap Fidelis adalah korban dari kegigihan pemerintah dalam memerangi narkotika.
"Kasus Fidelis mestinya juga membuka mata pemerintah, khususnya Presiden, bahwa perang terhadap narkotika yang dikampanyekan sejak Maret 2015 telah menyeret Fidelis sebagai salah satu korbannya," kata Anggara melalui keterangan tertulis Rabu (2/8/2017).
Anggara mengatakan, pemerintah selalu membawa slogan antinarkoba tanpa berani masuk ke ranah ilmiah untuk menjamin kepentingan yang lebih luas.
"Fidelis adalah contoh nyata kebijakan perang yang rentan menjadi salah sasaran," ujar dia.
Anggara menyayangkan majelis hakim tidak secara menyeluruh melihat fakta persidangan kasus Fidelis.
Menurut ICJR, Fidelis semestinya dapat masuk dalam kategori keadaan darurat sebagaimana diatur dalam Pasal 48 KUHP mengenai daya paksa. Isinya, yakni "Barang siapa melakukan perbuatan pidana karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana".
Oleh karena itu, menurut Anggara, semestinya Fidelis lepas dari tuntutan hukum.
"Kondisi Fidelis yang tidak memiliki pilihan selain menolong istrinya dengan pengobatan ganja yang tidak disediakan oleh negara harusnya menjadi pertimbangan kunci oleh hakim," kata Anggara.
Vonis yang diberikan terhadap Fidelis lebih berat daripada tuntutan jaksa, yakni lima bulan penjara.
(Baca: Fidelis Divonis 8 Bulan Penjara dan Denda Rp 1 Miliar)
Hakim menilai Fidelis terbukti bersalah dalam kepemilikan 39 batang ganja yang dipergunakannya untuk mengobati sang istri, Yeni Riawati.
Perbuatan Fidelis dinilai memenuhi unsur dalam Pasal 111 dan 116 UU nomor 35 tentang Narkotika.