Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Politik Kewarganegaraan

Kompas.com - 10/04/2017, 15:23 WIB

oleh: YONKY KARMAN

Nasionalisme adalah energi vital perjuangan melawan dominasi asing yang menghambat kemandirian politik dan ekonomi bangsa. Tenun kebangsaan beraneka corak identitas politik berbasis (keyakinan) agama, suku, ras, kasta, profesi, jender, dan lainnya.

Kaum nasionalis berutang, antara lain, kepada ide-ide kritis sosialisme untuk mematahkan kekuatan narasi kapitalisme kaum kolonial. Dengan politik kebangsaan, Indonesia meraih kemerdekaan dan tegak sampai sekarang. Nasionalisme kehilangan karakter inklusifnya ketika didefinisikan secara eksklusif di luar identitas kewarganegaraan.

Hitler membangun nasionalisme Jerman (nazisme) di atas basis ras Arya. Negara memperlakukan kaum keturunan Yahudi, yang notabene warga negara turun-temurun, seperti warga yang kehilangan hak-hak konstitusionalnya. Hal serupa terjadi terhadap kelompok etnis Rohingya di Myanmar.

Diskriminasi adalah memperlakukan warga berdasarkan identitas tunggal yang tak ada kaitannya dengan kewarganegaraan. Warga didorong ke tepi kehidupan berbangsa. Diskriminasi horizontal di antara sesama warga bangsa diperkuat oleh diskriminasi vertikal dengan negara gagal mengoreksi penyelewengan berbangsa itu.

Menyadari anakronisme pencantuman kata "pribumi" dalam UUD 1945 untuk masa kini, dihentikanlah diskriminasi konstitusional yang berlangsung sejak Indonesia merdeka. Amandemen konstitusi mengafirmasi kebangsaan Indonesia yang multietnis dan multikultural.

Paradoks nasionalisme

Sejarah perjuangan Indonesia tak bisa dipisahkan dari semangat keagamaan. Sebagai bagian dari jati diri mayoritas bangsa, agama tidak dalam posisi diametral dengan kebangsaan. Jalan Indonesia untuk menjadi modern bukan sekularisme yang mengisolasi agama di ruang privat, juga bukan mencurigai agama sebagai penghambat modernitas. Kepublikan agama dirayakan dan diamalkan.

Nasionalisme religius merupakan jalan tengah untuk Indonesia yang bukan negara agama, juga bukan negara sekuler. Namun, nilai-nilai universal agama tidak menghilangkan partikularisme agama dalam praktik. Agama membentuk demarkasi sosial pemisah antara yang beragama dan yang tak beragama, yang religius dan yang sekuler, kelompok umat yang satu dan kelompok umat yang lain.

Ada paradoks terselubung dengan nasionalisme religius ketika agama secara eksklusif menentukan corak kebangsaan. Fakta dan kemungkinan nasionalisme sekuler dinafikan. Corak inklusif kebangsaan diingkari. Sebaliknya, superioritas nasionalisme umat di atas nasionalisme sekuler atau yang kurang religius atau yang dari afiliasi religius minoritas.

Padahal, rahim Ibu Pertiwi telah melahirkan seorang Tan Malaka yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia seratus persen tanpa kompromi. Tak ada korelasi langsung antara nasionalisme dan agama. Nasionalisme tumbuh subur di sanubari anak-anak bangsa yang merasa senasib dalam sejarah ketertindasan dan sejarah perjuangan bersama.

Paradoks nasionalisme religius coba diselesaikan oleh rezim Orde Lama dengan proyek ideologis Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme). Proyek ambisius itu gagal. Rezim Orde Baru tak memberi tempat bagi komunisme. Penguatan nasionalisme dilakukan dengan memunculkan identitas tunggal tandingan: komunisme (terkait nasionalisme religius) atau pribumi (terkait nasionalisme ekonomi).

Agama dalam kontrol negara untuk menyukseskan pembangunan.

Orde Reformasi membuka babak baru nasionalisme religius dengan kemungkinan agama tanpa Pancasila sebagai ideologi organisasi politik. Dengan begitu, agama yang dalam praktiknya menyangkut satu kelompok masyarakat, ketika menjadi ideologis, berpotensi merusak tenun kebangsaan. Fundamentalisme agama menyubordinasi Pancasila dan negara. Hukum agama, kalau perlu, menyubordinasi hukum negara dan ketertiban umum.

Dalam paradigma keumatan yang melampaui kewarganegaraan, warga yang baik tidak terutama dinilai dari ketaatan warga kepada hukum, membayar pajak, bersih dari korupsi, mengabdi kepada masyarakat, mengharumkan nama bangsa dengan prestasi ilmiah atau olahraga. Baik buruknya warga dinilai dari keterlibatannya dengan agama. Agama pun terlalu jauh memasuki ruang publik. Eksesnya adalah penguatan intoleransi. Pendiskreditan hak-hak sipil dianggap wajar bagi yang tak memenuhi kriteria warga yang baik itu.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Nasional
PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

Nasional
Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Nasional
PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

Nasional
ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

Nasional
Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasional
PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

Nasional
Demokrat Tak Ingin Ada 'Musuh dalam Selimut' di Periode Prabowo-Gibran

Demokrat Tak Ingin Ada "Musuh dalam Selimut" di Periode Prabowo-Gibran

Nasional
Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Nasional
Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Nasional
Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Nasional
Gugat Dewas ke PTUN hingga 'Judicial Review' ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Gugat Dewas ke PTUN hingga "Judicial Review" ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Nasional
Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Nasional
Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com