Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang Asrini Widjanarko
Kurator seni

Kurator seni, esais isu-isu sosial budaya, aktivis, dan seorang guru. Kontak: asriniwidjanarko@gmail.com

Museum dan Galeri Seni, Parasmu Kini

Kompas.com - 20/03/2017, 12:17 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

Biofilus dan Nekrofilus serta pernyataan tersirat

Dalam konteks ini, pemikiran psikoanalis Eric Fromm senyatanya menjadi titik terang yang mengilhami, bahwa seni, dalam tatarannya yang konstruktif, bisa dijadikan sebagai energi manusia yang erat dengan konsep biofilus, yakni cinta kehidupan.

Fromm dalam Anatomy of Human Destructiveness (1973), menyingkap bahwa kondisi kejiwaan manusia juga memiliki lelaku antagonisnya yakni nekrofilus, cinta kematian.

Kondisi masyarakat akhir-akhir ini, lebih cenderung membawa beban nekrofilus. Sebuah kondisi kejiwaan masyarakat yang membiakkan hasrat kekerasan, kecenderungan yang sangat terhadap sesuatu yang membusuk dan mati.

Kita bisa menandainya dalam hujatan-hujatan kebencian dalam batas yang amat mengkhawatirkan, misalnya dalam dunia politik nasional kita, menjelang Pilkada Jakarta putaran ke-2, dengan masing-masing mempertahankan “kebenaran” kelompoknya dengan membabi-buta.

Menurut Fromm, orang-orang nekrofilus, dalam suatu kelompok, menyukai untuk mengganggu dan membuat orang lain kecewa, mementahkan kesepakatan, mematahkan semangat orang lain yang berseberangan yakni orang-orang biofilus yang bersemangat dan bergairah untuk membangun rekonsiliasi.

Kemudian, dimanakah posisi museum dan galeri seni besar? Tradisi lama sebuah museum adalah aktifitas mengoleksi dan merawat benda-benda bersejarah, mendokumentasi sesuatu yang berkaitan dengannya dan kemudian memamerkannya menjadi tidak lagi lengkap.

Pandangan lama, yang menyebut museum sebagai cabinet of curiosities atau kunstkabinett bukan lagi klaim yang paling benar. Sebuah “lemari” atau “ruang” penyimpanan telah bertransformasi hebat.

Museum tak hanya sebagai ensiklopedia koleksi obyek-obyek mati dan kemudian dimaknai secara eksklusif. Lebih dari itu, museum seharusnya menjawab tantangan zaman, menengok keluar dari “tembok” museum.

The International Council of Museums (ICOM), yang didirikan pada 1946, sebuah otoritas dewan dan profesional di bidang museum sedunia memberi tema Hari Museum Sedunia pada Mei 2017 nanti dengan apa yang disebut Museums and Contested Histories: Saying the Unspeakable in Museums.

Melihat sejarah kembali dengan cara berbeda, berani menyuarakan yang terbungkam. Sebuah refleksi kritis atas catatan sejarah sosial, politik dan budaya bangsa dengan mengkonstruksinya kembali peristiwa-peristiwa itu lewat program-program museum.

ICOM yang memiliki 35.000 anggota di 137 negara, termasuk sejumlah 20.000 museum ini memantik persoalan sejauh ini, bagaimana peran museum bisa dengan aktif memberi manfaat pada masyarakat?

Menjadikan medium untuk menguji kembali makna peristiwa-peristiwa lewat benda-benda yang dimiliki di museum atau yang dipamerkan dan program lainnya untuk mempromosikan saling pengertian di masyarakat. Menyatakan dengan lantang yang tersirat seraya membangun adab, menanggalkan saling mencurigai antarsesama.

Sebagai misal, program edukasi yang menginspirasi pada khalayak lebih muda untuk menginterpretasikan bagaimana sosok pelukis Basoeki Abdullah yang multi-kultural lewat serangkaian workshop khusus atau sebuah ekshibisi yang unik di Museum.

KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG Pengunjung melihat lukisan koleksi Istana Negara dalam pameran bertajuk Goresan Juang Kemerdekaan : Koleksi Seni Rupa Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Galeri Nasional, Jakarta, Selasa (2/8/2016). Pameran menampilkan 28 karya dari 20 maestro lukis Indonesia seperti Raden Saleh, Affandi, Basoeki Abdullah hingga Presiden Soekarno, berlangsung untuk umum dari 2-30 Agustus.
Bagaimana ia sempat didera oleh cemooh dimasa lalu sebagai pengusung moie indie, seniman penghamba keelokan ala Eropa melihat negeri Timur oleh sebagian kritikus seni, yang sebenarnya bisa dimaknai kembali dengan generasi kini dengan cara pandang yang lebih jernih.

Tatkala semangat kebinekaan kultural berbangsa kita sedang terancam, Basoeki Abdullah, seperti juga Soekarno, patut sebagai simbol representasi bahwa keindonesiaan masih tetap mengalir deras dalam darahnya. Nasionalismenya tetap tak diragukan, meskipun mereka sempat memilih untuk menikahi warga negara asing, tumbuh dari keyakinan dan iman yang berbeda dari ibu atau bapaknya.

Pada contoh lainnya, bagaimana seniman-seniman Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang telah distigma secara politis sebagai “musuh negara” pada masa lalu, seperti karya-karya para anggota Sanggar Bumi Tarung mulai dipamerkan lagi, didiskusikan ulang sumbangannya pada sejarah seni dalam ingatan-ingatan kolektif bangsa yang majemuk ini.

Program di Galeri Nasional, yang diinisiasi oleh tiga kementerian pada Agustus 2016, yakni Kemdikbud, Setneg, dan Bekraf patut juga diapresiasi. Meskipun kita tahu belum ada tindak lanjutnya atas cacatnya karya-karya yang dipamerkan, rencana restorasi karya-karya milik Istana Kepresidenan yang sangat penting, serta acara sejenis bagian ke II pada 2017.

KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG Lukisan karya Diego Rivera berjudul Gadis Melayu dengan Bunga, dalam pameran bertajuk Goresan Juang Kemerdekaan : Koleksi Seni Rupa Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Galeri Nasional, Jakarta, Selasa (2/8/2016).
Di bulan Maret ini, Pameran Nusantara dengan tajuk "Rest Area: Perupa Membaca Indonesia" patut pula diapresiasi. Event ini telah tergelar sampai tahun ke-9, yang telah menjaga marwah “kedaulatan seni kita”, dengan menjaga titik keseimbangan ekspresi yang demikian majemuknya serta ide-ide tentang keindonesiaan yang tetap terus disuarakan oleh seniman-seniman se-Indonesia.

Namun, ada ceruk batin yang masih mengganjal hari ini. Meski sisa harapan masih terasa.

Lamat-lamat, pemerintah akan bersiap menyelenggarakan Festival Istiqlal Ke-3 pada 2018. Jika memang Indonesia sebagai bangsa dengan populasi terbesar masyarakat Muslim di dunia, mengapa program sehebat Festival Istiqlal yang dulu tersohor dan kini akan dicanangkan kembali tak disosialisasikan dan dipersiapkan dengan baik?

Misalnya, memulai pameran-pameran seni rupa dan seni pertunjukan di Galeri Nasional Indonesia atau Museum Nasional, meskipun pusatnya ada di Masjid Istiqlal.

Setidaknya, event penting seperti itu selayaknya menjadikan Indonesia sebagai salah satu pusat peradaban Islam dunia pada abad ke-21.

Kita masih ingat, pada Festifal Istiqlal Ke-1 (1991) dan Festival Istiqlal ke-2 (1995) rezim Orde Baru, rezim yang dianggap otoriter, nyatanya mampu menyelenggarakan sebuah hajatan budaya bergengsi bernafaskan Islam terbesar se-Asia Tenggara dengan gelombang pengunjung ribuan manusia dari dalam dan luar negeri.

Namun kini kita mendengar lamat-lamat saja Fetival Istiqlal Ke-3 yang akan dihidupkan, memulai soft-launch-nya pada Februari 2017 lalu, jauh kalah gemuruh dibandingkan berita-berita kehadiran Raja Salman dari Arab Saudi. 

 

 

 

 

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kata Gibran soal Urgensi Adanya Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis

Kata Gibran soal Urgensi Adanya Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis

Nasional
Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Nasional
Menag Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji: Semua Baik

Menag Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji: Semua Baik

Nasional
Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet di Pilkada DKI Jakarta

Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet di Pilkada DKI Jakarta

Nasional
Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Nasional
Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Nasional
Utak-Atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

Utak-Atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

Nasional
Gibran Lebih Punya 'Bargaining' Gabung Partai Usai Dilantik Jadi Wapres

Gibran Lebih Punya "Bargaining" Gabung Partai Usai Dilantik Jadi Wapres

Nasional
Wacana Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Politis dan Boroskan Uang Negara

Wacana Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Politis dan Boroskan Uang Negara

Nasional
'Golkar Partai Besar, Tidak Bisa Diobok-obok Gibran'

"Golkar Partai Besar, Tidak Bisa Diobok-obok Gibran"

Nasional
Prabowo Ingin Tambah Menteri, Wapres Ma'ruf Amin Ingatkan Pilih yang Profesional

Prabowo Ingin Tambah Menteri, Wapres Ma'ruf Amin Ingatkan Pilih yang Profesional

Nasional
[POPULER NASIONAL] Jokowi Berkelakar Ditanya soal Pindah Parpol | PDI-P Beri Sinyal di Luar Pemerintahan

[POPULER NASIONAL] Jokowi Berkelakar Ditanya soal Pindah Parpol | PDI-P Beri Sinyal di Luar Pemerintahan

Nasional
Prabowo Diharap Tetapkan 2 Syarat Utama Sebelum Tambah Kementerian

Prabowo Diharap Tetapkan 2 Syarat Utama Sebelum Tambah Kementerian

Nasional
Ide Prabowo Tambah Kementerian Sebaiknya Pertimbangkan Urgensi

Ide Prabowo Tambah Kementerian Sebaiknya Pertimbangkan Urgensi

Nasional
Wacana Prabowo Tambah Kementerian Diyakini Bakal Picu Problem

Wacana Prabowo Tambah Kementerian Diyakini Bakal Picu Problem

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com