KOMPAS.com - Pada akhirnya kita harus meningkatkan kepedulian. Soalnya, dunia di sekitar kita masih dihiasi oleh kepalsuan dan kebohongan.
Lihatlah media online. Ada yang sudah memperoleh verifikasi Dewan Pers. Namun, tidak sedikit pula media online berstatus abal-abal, yang beroperasi hanya untuk memeras dan memfitnah.
Lihatlah pula toko online. Banyak yang berbisnis secara jujur. Namun, tidak sedikit yang sengaja menipu demi memperoleh keuntungan sesaat.
Semua media dan toko online yang tidak beritikad baik itu bisa beroperasi di atas nama keterbukaan. Keterbukaan itu, kini, malah sudah sampai pada tingkat tanpa batas. Akibatnya, masyarakat pun harus membuka diri tanpa batas. Kalau tidak, mereka akan teralienasi dan merasa gugup menjalani kehidupannya.
Salah satu anak kandung dunia tanpa batas adalah realitas semu (virtual reality). Realitas ini memang memungkinkan kita melakukan fantasi naratif dari citra. Ia bisa pula menjadi simbol antusiasme tentang transformasi sosial dan kultural melalui teknologi komunikasi.
Namun, ia juga membentuk dunia virtual yang membutuhkan prinsip interaktivitas.
Di bawah prinsip interaktivitas ini, kata Pablo J. Baczkowski, terdapat tiga petuah, yakni, pertama, jika seseorang menerima informasi yang tidak benar, dia akan menyampaikan informasi yang benar.
Kedua, kalau seseorang diminta mengungkapkan pendapatnya, dia tidak akan keberatan, dan ketiga kalau seseorang merasa perlu meluruskan sesuatu yang menurutnya tidak pada tempatnya, dia akan mengungkapkan pengetahuannya tentang sesuatu itu dengan senang hati.
Sampai sekarang, prinsip interaktivitas ini belum sepenuhnya dipraktikkan oleh penduduk dunia virtual. Tidak jarang warganya enggan meluruskan informasi yang sampai ke jaringannya, sekalipun dia mengerti persis informasi yang benar.
Bertolak dari ketiga petuah inilah kita kemudian mengatakan bahwa penduduk dunia virtual harus terlibat aktif dalam pembicaraan di situ. Mereka tidak bisa lagi cuek saja dengan informasi yang melintas di dunia itu. Sebaliknya, mereka harus meningkatkan kepedulian pada informasi tersebut.
Pada taraf tertentu, peningkatan kepedulian ini menempatkan manusia dalam konteks kehidupan yang disatukan oleh keinginan untuk jujur. Selama ini, mungkin kita hanya berlaku jujur pada anggota keluarga. Mungkin kita hanya berlaku jujur pada orang sekampung.
Mungkin kita hanya berlaku jujur pada orang seagama. Semua kejujuran ini disebut jujur berdasarkan kekerabatan (kin-based). Namun, dengan peningkatan kepedulian pada informasi di dunia virtual, sesungguhnya kita mendidik diri untuk jujur secara impersonal dan profesional.
Sampai saat ini, kejujuran merupakan sumber utama kepercayaan. Kalau kita tidak jujur kepada orang lain, jangan berharap kita memperoleh kepercayaan dari dirinya. Ketidakjujuran malah bisa menghilangkan kepercayaan.
Sebaliknya, bila kita semakin sering memperlihatkan kejujuran kepada orang lain, kepercayaan orang itu akan menjadi semakin besar. Kecuali itu, meminjam pendapat Sokrates, memperlihatkan kejujuran merupakan cara paling singkat dan paling pasti untuk hidup secara terhormat.
Dengan begitu, kiranya perlu disadari bahwa peningkatan kepedulian kepada informasi di dunia virtual bisa membawa kepada kejujuran impersonal dan profesional.
Tentu saja ini mengejutkan, sekaligus menggembirakan. Persoalan yang tinggal sekarang, apakah penyampaian informasi yang benar bisa membuat jera mereka yang tidak jujur dalam dunia virtual?
Tidak mudah menjawab pertanyaan ini tanpa penelitian yang komprehensif. Yang jelas, mereka yang tidak jujur akan merasa malu mengetahui bahwa ada orang lain yang tahu bahwa dia tidak jujur. Nah, rasa malu ini agaknya bisa menjadi momentum untuk mulai bersikap jujur.
Kita yakin dengan sungguh bila selalu bersikap jujur maka hidup akan jadi terhormat. Beruntunglah orang yang bisa mempraktikkan prinsip interaktivitas di dunia virtual. Soalnya, di balik itu, ada keinginan untuk bersikap jujur secara impersonal dan profesional.
Ini bukan satu-satunya hikmah dari peningkatan kepedulian terhadap informasi yang mengisi dunia virtual. Tentu saja masih ada hikmah yang lain. Persoalannya terletak pada kerendahhatian kita untuk mengenali hikmah itu. Apakah kita punya kerendahhatian itu?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.