JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Hukum Pidana dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Ginting menilai sistem hukum acara pidana Indonesia saat ini berpotensi melanggengkan praktik-praktik pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Oleh sebab itu, Miko mengusulkan penghentian kebijakan hukuman mati sebelum pemerintah dan DPR mereformasi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Pemerintah dan DPR harus mereformasi KUHP. Tidak ada jalan lain. Dengan sistem yang ada saat ini perlu mempertimbangkan kebijakan hukuman yang tidak bisa dikoreksi seperti eksekusi mati, sebab rentan dengan pelanggaram HAM," ujar Miko dalam sebuah diskusi terkait penerapan hukuman mati, di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (26/2/2017).
Miko menjelaskan, pada esensinya hukum acara pidana atau hukum formil memberi batasan terhadap kekuasaan aparat penegak hukum, bukan hanya soal pembagian kewenangan. Mekanisme dalam KUHAP dibuat sedemikian rupa agar aparat tidak menyalahgunakan kewenangannya.
Namun pada praktiknya, secara substansi, sistem pemidanaan melalui hukum acara pidana berpeluang terjadinya pelanggaran HAM oleh aparat penegak hukum.
(Baca: Jaksa Agung: Eksekusi Mati Pasti, Hanya Waktu Belum Ditentukan)
Miko mengkritik tidak adanya penyaringan dalam memeriksa kesahihan suatu alat bukti. Selama ini, kata Miko, hakim di persidangan seringkali tidak memeriksa proses yang dilakukan oleh penyidik dalam mendapatkan alat bukti.
Penghimpunan alat bukti diduga kerap dilakukan dengan cara tidak sah seperti menyiksa untuk mendapat pengakuan dari tersangka.
"Praktiknya tidak ada filter terhadap alat bukti, apakah didapat secara sah atau tidak sah. Secara substansi sistem pemidanaan kita melanggengkan pelanggaran HAM," kata Miko.
Masalah administrasi
Selain itu, Miko mengkritik sistem pemidanaan dari aspek administrasi. Dia mencontohkan, ketika seorang terpidana mati mengajukan permohonan kasasi maupun peninjauan kembali ke Mahkamah Agung (MA) maka ada 27 tahap yang harus dilewati sebelum persidangan digelar.
(Baca:Kejagung Tengah Persiapkan Eksekusi Mati Jilid IV)
Dia menilai alur penanganan perkara seperti itu tidak efektif karena berpotensi terjadi pelanggaran dan kecerobohan.
Di sisi lain, publik tidak bisa mendeteksi setiap tahap pengajuan kasasi atau peninjauan kembali.
"Dari aspek administratif, alur penanganan perkara tidak efektif. Misal kasus yang dihadapi oleh terpidana mati Zainal Abidin yang berkas permohonannya terselip di PN sehingga prosesnya tidak berjalan," tutur Miko.
Sementara dari aspek mekanisme komplain, Miko berpendapat alur yang tersedia belum berjalan dengan baik. Obyek dalam mekanisme praperadilan saat ini dinilai terbatas dan hanya sekedar formalitas.
"Misalnya yang diperkarakan soal tidak adanya surat perintah penyidikan atau surat perintah penangkapan," ungkapnya.