JAKARTA, KOMPAS.com - Berita fitnah dan bohong di media sosial, yang berkaitan dengan pemilihan kepala daerah serentak 2017, seharusnya menjadi tanggung jawab Badan Pengawas Pemilu.
Namun, dengan sumber daya terbatas, Bawaslu dinilai tidak berdaya menindak peredaran berita hoax yang saat ini sangat masif.
"Apa yang dilakukan pengawas pemilu sangat tidak dapat menjangkau dan menindak berita bohong itu," kata Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPRR) Masykurudin Hafidz di Gedung Bawaslu, Jakarta, Selasa (7/2/2017).
Akibat ketidakberdayaan Bawaslu, banyak pihak yang merasa dirugikan oleh berita hoax di media sosial justru melapor ke kepolisian.
Namun, Masykurudin menilai bahwa kepolisian juga kewalahan dalam mengantisipasi dan menangani peredaran berita hoax.
"Jangankan pengawas pemilu, kepolisian saja masih butuh waktu untuk menemukan siapa penyebar berita hoax itu," kata Masykurudin.
Ia menilai, ketidakmampuan Bawaslu hingga aparat kepolisian dalam menindak berita hoax terkait Pilkada karena belum adanya undang-undang yang mengatur mengenai masalah itu.
Oleh karena itu, menurut dia, fenomena yang terjadi pada Pilkada 2017 ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dan DPR sebagai pembuat UU.
"Bagaimana sih sebenarnya ketentuan berkampanye melalui medsos dan yang paling penting adalah bagaimana cara menindaknya jika ada informasi fitnah atau hoax. Pihak-pihak mana yang harus dilibatkan dan metode mana yang harus dilakukan. Itu harus clear betul di UU sehingga nanti KPU dan Bawaslu menjalankannya enak," ujar Masykurudin.