JAKARTA, KOMPAS.com - Pengacara kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib, Asfinawati menganggap ada ironi antara komitmen pemerintah soal keterbukaan informasi dan putusan Komisi Informasi Publik soal dokumen pembunuhan Munir.
Sejak awal pemerintahan, Joko Widodo mendorong keterbukaan publik, terutama oleh lembaga-lembaga negara.
Namun, begitu didorong mengungkap hasil investigasi soal pembunuhan Munir, pemerintah melalui Kementerian Sekretaris Negara malah mengugat keputusan KIP ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
"Apakah Jokowi hanya mengedepankan keterbukaan informasi soal pembangunan tapi mengabaikan keterbukaan soal HAM?" ujar Asfinawati dalam konferensi pers di Jakarta, Minggu (27/11/2016).
Asfinawati mengatakan, tak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk tak membongkar hasil investigasi TPF.
Sesaat setelah putusan KIP keluar, Kemensesneg mengaku tak dapat mengumumkan dokumen TPF karena mengaku tak menyimpannya dalam arsip.
Pernyataan tersebut, kata Asfinawati, memunculkan berbagai anggapan di masyarakat.
Ada dugaan pemerintah sengaja menutupi nama-nama yang diduga terkait dalam pembunuhan Munir.
Di sisi lain, pemerintah juga dianggap tidak becus dalam mengarsip dokumen penting negara seperti itu.
"Pemerintahan ini bukan pemerintahan lima tahun saja. Apapun yang sudah jadi kewajiban pemerintah dulu, harus menjadi bagian pemeeintah yang sekarang," kata dia.
Kemudian, mantan Menteri Sekretaris Negara era Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono, Sudi Silalahi menyerahkan sejumlah salinan dokumen tersebut.
Sehingga, pemerintah semestinya bisa segera mengumumkan isi dokumen itu kepada publik agar kasus ini terang benderang.
"Tidak ada alasan hukum untuk tidak mengumumkan, malah justru banding. Jadi muncul kesan ada pengabaian hukum dan upayanya tidak ingin membongkar nama di dokumen TPF itu," kata Asfinawati.
Padahal, kata dia, memperoleh informasi dijamin oleh konstitusi sesuai dengan Pasal 28F dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur hak setiap orang untuk memperoleh dan menyampaikan informasi.
"Barangnya ada, SBY sudah serahkan itu. Jadi tidak ada alasan lagi," kata Asfinawati.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.