JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Pol Agung Setya mengimbau masyarakat tidak menanggapi ajakan sejumlah pihak untuk menarik uang dalam jumlah besar dari bank atau rush money pada 25 November 2016.
Agung mengatakan bahwa ajakan tersebut tidak tepat di tengah kondisi perbankan Indonesia yang stabil.
"Kami telah melakukan rapat koordinasi dengan OJK dan BI untuk melihat apakah isu ini menjadi positif atau negatif," kata Agung saat konferensi pers di Bareskrim Polri, komplek Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Senin (21/11/2016).
"Kesimpulannya rush money adalah ajakan yang keliru terkait posisi dan kondisi perbankan kita yang sedang bagus-bagusnya," ujarnya.
Agung menjelaskan, isu rush money berpotensi menimbulkan kerugian di sisi nasabah apabila dilakukan. Penarikan uang secara besar-besaran, kata Agung, justru akan meningkatkan angka kriminalitas.
"Rush money ini akan merugikan nasabah sendiri jika dilakukan, jadi tidak perlu digubris. Kalau pegang uang kan resikonya besar. Uang cash bisa hilang dicuri atau dirampok," kata Agung.
Isu rush money berkembang di media sosial. Isu itu tersebar bersamaan dengan rencana aksi demonstrasi atas kasus dugaan penistaan agama oleh Gubernur non-aktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Ahok pun sudah ditetapkan sebagai tersangka. (Baca: Bareskrim Tetapkan Ahok sebagai Tersangka Penistaan Agama)
Sebelumnya, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengomentari dingin isu gerakan penarikan uang secara besar-besaran atau rush money pada 25 November 2016 itu.
"Janganlah mengada-ada, itu namanya sudah mengalihkan langkah (politik) ke ekonomi," ujar Darmin.
(Baca: "Rush Money 25 November", Gerakan Mengada-ada...)
Ia menilai pihak-pihak yang menyebarkan gerakan rush money adalah orang-orang yang tidak mengedepankan kepentingan bangsa dan negara.
Sebab, isu politik yang saat ini sudah ada dalam proses hukum dikaitkan dengan ekonomi.