JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai usulan pemerintah memasukan pasal penghinaan pemerintah ke RUU KUHP, bertentangan dengan prinsip negara demokrasi.
Menurut Fahri, dalam sebuah negara demokrasi, tak ada lagi sakralisasi terhadap negara.
Di era demokrasi justru yang lebih penting adalah memberi perlindungan kepada rakyat.
"Kalau meminjam istilah ahli konstitusi, di negara demokrasi itu kekuasaan negara dirampas sebagian dan diberikan kepada rakyat, di dalamnya ada tambahan dengan penguatan lembaga perwakilan rakyat," ujar Fahri di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (18/11/2016).
(Baca: "Kalau Enggak Mau Dikritik, Jangan Jadi Pejabat")
Hal itu, kata Fahri, juga diperkuat dalam amandemen UUD 1945 yang keempat. Dalam amandemen tersebut justru yang banyak dimunculkan ialah pasal-pasal yang memperkuat hak rakyat.
Ia menambahkan, sebuah pemerintahan dalam negara demokrasi semestinya membangun wibawa dengan kinerja yang apik, bukan dengan mensakralkan diri.
"Kalau cuma enak tidur, enak makan, ya sudah, reputasinya di mata rakyat ya jadinya begitu," kata Fahri.
Apalagi, kata Fahri, diberlakukannya pasal penghinaan pemerintah sama saja mengembalikan Indonesia ke rezim otoriter karena rakyat dibatasi untuk mengkritik pemerintah.
Menurut dia, hal itu jelas bertolak belakang dengan spirit reformasi. Ia melanjutkan, kondisi Indonesia saat ini yang memperbolehkan seseorang bebas berpendapat harus tetap dijaga.
"Masak mau seperti dulu. Kita ngomong dicatet, dilaporin ke babinsa (bintara pembina desa), terus hilang. Kalau saya sih berkelahi deh untuk itu," tutur Fahri.
Pada rapat Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang KUHP, pemerintah mengusulkan agar pasal penghinaan pemerintah masuk dalam kategori tindak pidana.
(Baca: Pasal Penghinaan Pemerintah Masuk dalam Draf RUU KUHP)
Pasal tersebut bertujuan melindungi pemerintah yang dibentuk secara sah dan dijamin oleh undang-undang dalam melaksanakan tugasnya.
"Perorangan saja dilindungi undang-undang, kok pemerintah yang dibentuk secara sah tidak dilindungi undang-undang," kata Ketua Tim Perumus Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Muladi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (17/11/2016).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.