Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Santri, Perekat Persatuan dan Kebersamaan di Tanah Air

Kompas.com - 22/10/2016, 07:04 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Dalam rangka peringatan Hari Santri Nasional pada 22 Oktober 2016, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengatakan bahwa momentum tersebut harus digunakan sebagai perekat persatuan dan kebersamaan di tengah masyarakat.

Menurut dia, para santri saat ini memiliki kewajiban untuk menjaga warisan rasa berkebangsaan yang ditunjukkan oleh pendahulunya saat masa perjuangan kemerdekaan Indonesia.

"Saya berharap para santri bisa mempertahankan warisan pendahulunya dengan cara memelihara persatuan dan kebersamaan. Itu yang ingin saya sampaikan pada peringatan Hari Santri Nasional," ujar Wiranto saat ditemui di kantor Kemenko Polhukam, Jumat (21/10/2016).

Wiranto menuturkan, Hari Santri Nasional yang ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015, merupakan upaya untuk mengingat kembali peran penting santri dalam penegakan kemerdekaan Indonesia.

Oleh sebab itu, dia berharap Hari Santri Nasional tidak sekadar menjadi seremoni, melainkan pembangkit semangat untuk menjaga keutuhan bangsa.

Apa yang diperjuangkan oleh santri terdahulu, kata Wiranto, harus menjadi pengingat bahwa nyawa pun rela dipertaruhkan untuk merebut kemerdekaan.

"Santri zaman dulu mempunyai peranan sangat penting dalam penegakan kemerdekaan RI," kata Wiranto.

"Kenapa diperingati? agar kita tidak melupakan semangat santri yang dulu memerdekakan dan mempertahankan kemerdekaan. Perjuangan mereka berat, taruhannya nyawa, darah dan air mata," ucap dia.

Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 tentang penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada Kamis (15/10/2015) lalu.

Dikutip dari laman www.harisantri.id, 22 Oktober 1945 menjadi pilihan karena saat itu pendiri Nahdlatul Ulama Kyai Hasyim Asy’ari mengumumkan fatwa yang disebut sebagai Resolusi Jihad.

Resolusi Jihad lahir melalui musyawarah ratusan kyai-kyai dari berbagai daerah di Indonesia untuk merespons agresi Belanda yang kedua. Resolusi itu memuat seruan-seruan penting yang memungkinkan Indonesia tetap bertahan dan berdaulat sebagai negara dan bangsa.

Dalam situasi kritis dan darurat, mempertahankan kemerdekaan Tanah Air bernilai fardhu ‘ain (wajib secara perseorangan) dan kehilangan nyawa akibat aksi itu merupakan syahid.

Berbeda dengan pihak-pihak yang menggunakan doktrin jihad sebagai dasar aksi teror, jihad dalam keyakinan santri menyatu dengan kesadaran bertanah-air. Tanah Air, bagi santri, adalah urusan hidup-mati.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tak Cemas Lawan Kandidat Lain pada Pilkada Jatim, Khofifah: Kenapa Khawatir?

Tak Cemas Lawan Kandidat Lain pada Pilkada Jatim, Khofifah: Kenapa Khawatir?

Nasional
Khofifah Tolak Tawaran Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran, Pilih Maju Pilkada Jatim

Khofifah Tolak Tawaran Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran, Pilih Maju Pilkada Jatim

Nasional
Soal Duetnya pada Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

Soal Duetnya pada Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

Nasional
Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Nasional
Respons Luhut Soal Orang 'Toxic', Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Respons Luhut Soal Orang "Toxic", Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Nasional
Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Nasional
Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Nasional
Mencegah 'Presidential Club' Rasa Koalisi Pemerintah

Mencegah "Presidential Club" Rasa Koalisi Pemerintah

Nasional
Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasional
Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Nasional
PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com