Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lippo Group Disebut Bayar Konsultan untuk Hindari Pemberitaan Kasus Suap di Media

Kompas.com - 19/10/2016, 20:16 WIB
Abba Gabrillin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Lippo Group disebut menggunakan jasa konsultan untuk menghindari pemberitaan soal kasus suap pengurusan sejumlah perkara hukum yang melibatkan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution.

Hal tersebut dikatakan Direktur Utama PT Kobo Media Spirit, Stefanus Slamet Wibowo, saat bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (19/10/2016). Slamet menjadi saksi untuk terdakwa Edy Nasution.

Menurut Slamet, permintaan tersebut disampaikan oleh Paul Montolalu, salah satu petinggi Lippo Group yang menjabat sebagai Direktur PT Direct Vision.

"Kalau ditanya apakah ada pihak yang meminta jasa konsultan, ada klien kami, di antaranya Pak Paul Montolalu," ujar Slamet di Pengadilan Tipikor, Jakarta.

Menurut Slamet, Paul yang dikenalnya di salah satu usaha Lippo Group yakni First Media, meminta bantuannya untuk mendapatkan citra positif di media.

Pencitraan tersebut terhadap sejumlah unit usaha di bawah Lippo Group.

"Misalnya Lippo punya banyak unit kerja yang sahamnya ada di pasar modal, sehingga saya akan dorong dan bantu kalau ada isu positif," kata Slamet.

Slamet tidak ingat apakah Paul pernah memintanya membantu memberikan citra positif tiga perusahaan di bawah Lippo yang terkait dengan kasus suap panitera PN Jakarta Pusat, Edy Nasution.

Namun, dalam berita acara pemeriksaan (BAP) di KPK, Slamet mengakui bahwa Paul meminta bantuannya untuk mengamankan sejumlah media cetak agar memberikan hal-hal positif terkait PT Paramount Enterprise International, salah satu anak usaha Lippo yang terkait kasus hukum di KPK.

"Saya tidak bermaksud berbohong, tapi Paramount seingat saya tidak pernah. Tapi, kalau di BAP saya tanda tangan, artinya pernah," kata Slamet.

Menurut Slamet, selama 5-6 bulan dia diberikan uang Rp 600 juta oleh Paul untuk membayar sejumlah media cetak, agar memberitakan hal-hal yang positif bagi Lippo Group.

Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution didakwa menerima suap secara bertahap sebesar Rp 2,3 miliar.

Suap tersebut diduga diberikan agar Edy membantu mengurus perkara hukum yang melibatkan perusahaan di bawah Lippo Group.

(Baca juga: Panitera PN Jakarta Pusat Didakwa Terima Suap Rp 2,3 Miliar dari Lippo Group)

Pemberian uang kepada Edy dilakukan secara bertahap, yakni Rp 1,5 miliar dalam bentuk dollar Singapura, dan uang Rp 100 juta dari pegawai Lippo Group Doddy Aryanto Supeno, atas persetujuan dari Presiden Komisaris Lippp Group, Eddy Sindoro.

Kedua, pemberian uang 50.000 dollar AS kepada Edy Nasution, atas arahan Eddy Sindoro. Kemudian, pemberian ketiga, yakni uang sebesar Rp 50 juta dari Doddy Aryanto Supeno, atas arahan Wresti Kristian Hesti, yang merupakan pegawai bagian legal pada Lippo Group.

Tiga perkara Lippo Group yang diurus oleh Edy adalah perkara eksekusi lahan terhadap PT Jakarta Baru Cosmopolitan.

Kemudian, penundaan "aanmaning" perkara niaga PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) melawan PT Kwang Yang Motor (PT Kymco).

Ketiga, terkait pengajuan peninjuan kembali perkara niaga PT Across Asia Limited (AAL) melawan PT First Media.

(Baca juga: Jaksa KPK Cecar Saksi soal Dugaan Keterlibatan Petinggi Lippo Group)

Kompas TV Panitera Pengadilan Terima Suap?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Nasional
Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Nasional
Utak-Atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

Utak-Atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

Nasional
Gibran Lebih Punya 'Bargaining' Gabung Partai Usai Dilantik Jadi Wapres

Gibran Lebih Punya "Bargaining" Gabung Partai Usai Dilantik Jadi Wapres

Nasional
Wacana Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Politis dan Boroskan Uang Negara

Wacana Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Politis dan Boroskan Uang Negara

Nasional
'Golkar Partai Besar, Tidak Bisa Diobok-obok Gibran'

"Golkar Partai Besar, Tidak Bisa Diobok-obok Gibran"

Nasional
Prabowo Ingin Tambah Menteri, Wapres Ma'ruf Amin Ingatkan Pilih yang Profesional

Prabowo Ingin Tambah Menteri, Wapres Ma'ruf Amin Ingatkan Pilih yang Profesional

Nasional
[POPULER NASIONAL] Jokowi Berkelakar Ditanya soal Pindah Parpol | PDI-P Beri Sinyal di Luar Pemerintahan

[POPULER NASIONAL] Jokowi Berkelakar Ditanya soal Pindah Parpol | PDI-P Beri Sinyal di Luar Pemerintahan

Nasional
Prabowo Diharap Tetapkan 2 Syarat Utama Sebelum Tambah Kementerian

Prabowo Diharap Tetapkan 2 Syarat Utama Sebelum Tambah Kementerian

Nasional
Ide Prabowo Tambah Kementerian Sebaiknya Pertimbangkan Urgensi

Ide Prabowo Tambah Kementerian Sebaiknya Pertimbangkan Urgensi

Nasional
Wacana Prabowo Tambah Kementerian Diyakini Bakal Picu Problem

Wacana Prabowo Tambah Kementerian Diyakini Bakal Picu Problem

Nasional
Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Nasional
Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com