JAKARTA, KOMPAS.com - Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution didakwa menerima suap secara bertahap sebesar Rp 2,3 miliar.
Suap tersebut diduga diberikan agar Edy membantu mengurus perkara hukum yang melibatkan perusahaan dibawah Lippo Group.
"Didakwa melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing dipandang sebagai perbuatan berdiri sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan menerima hadiah atau janji," ujar Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dzakiyul Fikri di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (7/9/2016).
Pemberian uang kepada Edy dilakukan secara bertahap, yakni Rp 1,5 miliar dalam bentuk dollar Singapura, dan uang Rp 100 juta dari pegawai Lippo Group Doddy Aryanto Supeno, atas persetujuan dari Presiden Komisaris Lippp Group, Eddy Sindoro.
Kedua, pemberian uang 50.000 dollar AS kepada Edy Nasution, atas arahan Eddy Sindoro.
Kemudian, pemberian ketiga, yakni uang sebesar Rp 50 juta dari Doddy Aryanto Supeno atas arahan Wresti Kristian Hesti, yang merupakan pegawai bagian legal pada Lippo Group.
Eksekusi Lahan PT JBC
Pemberian uang Rp 1,5 miliar tersebut dilakukan untuk menggerakkan Edy agar mengurus perubahan redaksional atau revisi surat jawaban dari PN Jakarta Pusat.
Perubahan tersebut untuk menolak permohonan eksekusi lanjutan PT Jakarta Baru Cosmopolitan dari ahli waris berdasarkan putusan Raad Van Justitie Nomor 232/1937 tanggal 12 Juli 1940 atas tanah yang berlokasi di Tangerang.
Uang tersebut juga diberikan agar Edy tidak mengirimkan surat tersebut kepada pihak pemohon eksekusi lanjutan.
Awalnya, Eddy Sindoro menugaskan Hesti untuk bertemu Edy dan mengurus penundaan eksekusi.
Namun, Edy tidak juga mengurus perkara, sehingga Hesti meminta Eddy untuk membuat memo kepada Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi.
Eddy kemudian menyetujui pengurusan, dengan meminta imbalan Rp 3 miliar atas arahan Nurhadi.
Namun, pada akhirnya pemberian kepada Edy hanya Rp 1,5 miliar.
Berdasarkan putusan Pengadilan Arbitrase di Singapura, PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) dinyatakan wanprestrasi dan diwajibkan membayar ganti rugi kepada PT Kwang Yang Motor (Kymco) sebesar 11.100.000 Dollar AS.
Karena PT MTP tidak juga melaksanakan kewajibannya, PT Kymco mendaftarkan putusan itu di PN Jakpus, agar putusan arbitrase dapat dieksekusi di Indonesia.
Menindaklanjuti hal itu, PN Jakpus kemudian mengajukan aanmaning atau pemanggilan terhadap PT MTP pada 1 September 2015 dan 22 Desember 2015.
Mengetahui pemanggilan itu, Eddy Sindoro kemudian menugaskan Hesti untuk mengupayakan penundaan aanmaning.
Hesti kemudian bertemu Edy Nasution di Kantor PN Jakpus pada 14 Desember 2015, dan meminta dilakukan penundaan aanmaning.
Namun, Eddy Sindoro dan Rudy Nanggulangi selaku Direktur Utama PT MTP tidak memenuhi panggilan.
(Baca: Lippo Group Bantah Terlibat Suap Panitera PN Jakarta Pusat)
Akhirnya, Eddy menugaskan Hesti untuk mengupayakan penundaan pelaksanaan aanmaning, dengan melakukan pendekatan kepada Edy Nasution.
Edy Nasution kemudian menyetujui penundaan aanmaning sampai Januari 2016. Namun, ia meminta imbalan sebesar Rp 100 juta.
Atas persetujuan Eddy Sindoro, Hesti menugaskan Doddy Aryanto Supeno untuk kemudian menyerahkan uang Rp 100 juta kepada Edy Nasution.
Penyerahan uang dilakukan pada 17 Desember 2015, di Hotel Acacia, Jakarta Pusat.
Terhadap pengurusan penundaan aanmaning tersebut, Lippo Group melalui Hesti, atas arahan dari Eddy Sindoro, membuat memo yang ditujukan kepada Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi.
Nurhadi dianggap sebagai promotor yang dapat membantu agar tidak dapat dilakukan eksekusi atas putusan Pengadilan Arbitrase Singapura.
Berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung pada 31 Juli 2013, PT Across Asia Limited (AAL) dinyatakan pailit.
Putusan tersebut telah diberitahukan oleh PN Jakpus pada 7 Agustus 2015.
Hingga lebih dari 180 hari setelah putusan dibacakan, PT AAL tidak juga mengajukan upaya hukum PK ke MA.
Sesuai Pasal 295 ayat 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, batas waktu pengajuan PK adalah 180 hari sejak putusan dibacakan.
Namun, untuk menjaga kredibilitas PT AAL yang juga sedang berperkara di Hongkong, Eddy Sindoro menugaskan Hesti agar mengupayakan pengajuan PK di MA.