JAKARTA, KOMPAS.com - Peristiwa pembunuhan tujuh perwira militer Angkatan Darat yang dikenal sebagai Gerakan 30 September 1965 (G30S) dinilai masih menjadi bagian dari sejarah kelam bangsa Indonesia.
Banyak versi sejarah bermunculan terkait siapa sebenarnya dalang dari pembunuhan tersebut. Ada yang menyebut G30S adalah ulah dari Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ada pula yang menganggap pembunuhan tersebut merupakan bagian dari upaya kudeta Soeharto untuk merebut kekuasaan Presiden Soekarno yang dianggap terlalu dekat dengan PKI.
Sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam mengatakan, sejak tumbangnya Soeharto pada 1998, Pemerintah Indonesia belum bisa berdamai dengan masa lalu.
Hal tersebut terlihat dari lambatnya upaya pemerintah dalam menggagas rekonsiliasi sebagai bagian dari penyelesaian kasus Tragedi 1965 yang menjadi dampak peristiwa G30S.
"Kita belum selesai dengan Peristiwa 1965," ujar Asvi dalam sebuah diskusi di kantor PARA Syndicate, Jakarta Selatan, Jumat (30/9/2016).
Menurut Asvi, rekonsiliasi harus dimulai dengan adanya keberanian pemerintah untuk mengungkap kebenaran dan fakta seputar Tragedi 1965.
"Untuk mencapai rekonsiliasi harus ada pengungkapan kebenaran dan fakta. Disajikan apa adanya, tidak direkayasa," ujarnya.
Asvi mengatakan, selain pembunuhan terhadap tujuh jenderal, Pemerintah Indonesia juga harus mengakui adanya pembunuhan massal terhadap anggota PKI dan orang-orang yang dituduh berafiliasi dengan partai berlambang palu-arit tersebut.
Hal itu bisa dibuktikan dengan banyaknya hasil penelitian yang dilakukan oleh para akademisi dan aktivis hak asasi manusia (HAM).
Selain itu tidak bisa dipungkiri ada bukti-bukti valid mengenai keberadaan kuburan massal.
Seorang wartawan bernama Salim Said juga pernah menulis hasil wawancara dengan seorang tentara yang ikut operasi pembersihan PKI di Purworedjo.
Tentara itu, kata Asvi, mengaku memiliki sebuah kalung yang terbuat dari kumpulan telinga manusia
"Pembunuhan massal itu fakta. Menko Polhukam tidak usah membantah lagi. Ini suatu fakta terjadi pembunuhan dan kekerasan. Seharusnya pemerintah akui ada pelanggaran berat HAM," kata Asvi.
Tidak hanya pembunuhan massal, Asvi juga menuturkan bahwa banyak unsur yang belum dituntaskan oleh pemerintah terkait Tragedi 1965.