JAKARTA, KOMPAS.com - Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) mempertanyakan penetapan alokasi kursi di 34 provinsi untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sebab, metode yang diterapkan dalam menentukan jumlah 560 kursi DPR, termasuk juga pembagiannya untuk tiap daerah, tidak jelas.
Direktur SPD, August Mellaz menilai, permasalahan ini bermula sejak adanya perubahan pada 2004 sebanyak 550 kursi, kemudian ditambah 10 kursi menjadi 560 kursi pada 2009.
"Secara arbiter (mana suka) hanya 10 kursi yang dibagikan ke beberapa provinsi tanpa diketahui metode dan prinsip alokasi yang digunakan," ujar August dalam diskusi di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (18/9/2016).
Kemudian, saat ini, aturan terkait alokasi kursi DPR diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang pemilihan umum. Namun, juga tidak jelas diatur mekanisme penetapan jumlah dan alokasinya.
Menurut dia, tanpa adanya mekanisme yang jelas, maka penetapan jumlah kursi DPR kerap kali sarat kepentingan politik.
"Kebutuhan alokasi kursinya, 'ah saya minta nambah, saya minta kurang', di situ sebenarnya, motif politiknya jadi lebih mengemuka, karena kan kepentingan pada saat itu juga (kondisional)," kata dia.
Ia mengatakan, alokasi kursi DPR ini merupakan isu yang sangat penting. Sebab, melalui kursi DPR inilah rakyat dapat terwakili hak-haknya.
Hal itu sejalan dengan Pasal 27 Ayat 1 UUD 45 yang menyebutkan bahwa semua warga negara bersamaan kedudukannya di hadapan hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya.
Ia mencontohkan, DPR selaku perwakilan rakyat menetapkan undang-undang. Namun, tanpa adanya regulasi pembagian yang tepat, maka jika UU yang dibuat justru merugikan ini menjadi masalah.
"Kan nanti misalnya wakil saya jumlahnya kurang di DPR dan mereka bikin UU dan UU itu menjadi beban, misalnya pajak, maka saya akan dirugikan. Nah, hak-hak seperti itu yang perlu ditegaskan dalam konteks politik di Indonesia," kata dia.
Menurut dia, alokasi kursi DPR harus jelas pembagiannya. Daerah yang partisipasi politiknya besar, lanjut August, maka jumlah kursi yang disediakan semestinya juga besar.
Misalnya, kata August, daerah Papua yang partisipasi politiknya hampir 100 persen, semestinya mendapat alokasi kursi yang juga cukup besar. Namun saat ini, alokasi kursi perwakilan Papua di DPR hanya 10 kursi.
"Papua menjadi korban kehilangan tiga kursi akibat penerapan prinsip 'akal-akalan' provinsi induk dan pemekaran. Provinsi Papua semula 13 kursi perwakilan di DPR, kemudian turun menjadi 10 kursi oleh karena adanya pemekaran provinsi baru. Tiga kursi Papua diberikan kepada Irian Jaya Barat," kata dia.
Sementara Provinsi Sulawesi Selatan yang dimekarkan dengan Provinsi Sulawesi Barat, lanjut August, tetap mendapatkan 24 kursi tanpa dikurangi 3 kursi untuk provinsi baru yang dimekarkan.
Selain itu, dalam kasus lainnya juga terjadi ketimpangan. Dalam penetapan 10 kursi terhadap provinsi Papua yang partisipasi politiknya tinggi akan menjadi tidak relevan dibandingkan dengan sejumlah wilayah yang partisipasinya rendah namun alokasi kursinya tetap sama dengan provinsi Papua.
"Daerah lain, yang sudah dipatok 10 kursi lalu tingkat partisipasinya 45 persen tapi tetap dapat 10 kursi, pada akhirnya ini kan enggak fair sebenarnya," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.