JAKARTA, KOMPAS - Sosok Munir Said Thalib atau Cak Munir sering diidentikkan dengan aktivis dan pejuang hak asasi manusia. Film Bunga Dibakar yang diputar pada Rabu (7/9) mengingatkan, Munir adalah sosok biasa, seperti kita semua. Ia hanya jujur terhadap dirinya dan tak tahan melihat ketidakbenaran di depan mata.
”Dia tidak sembarang berkelahi. Dia hanya tidak bisa melihat kalau ada yang tidak benar. Dia akan melawan walau lawannya jauh lebih besar dari dia,” cerita Jamal bin Thalib, adik Munir, tentang abangnya saat masih duduk di bangku SMP. Walaupun bertubuh kecil dan kurus dengan bobot hanya 35 kilogram, Munir kecil tidak akan mundur kalau dia tahu dia benar.
Munir muda lulus Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (Unibraw), Malang, tidak dengan supercemerlang. Namun, hidupnya menjadi cahaya penegakan hak asasi manusia (HAM) sejak masa Orde Baru, di mana subversi adalah kejahatan terhadap negara dengan risiko nyawa.
Pergulatan pemikiran Munir seiring dengan pergulatan bangsa ini untuk menemukan dirinya sebagai masyarakat yang beradab.
Pergulatan pemikirannya membawa Munir menjadi inklusif dan kemudian menorehkan beberapa tonggak dalam konflik melawan kekuasaan Orde Baru.
Setelah lulus dari Unibraw, Munir masuk lembaga bantuan hukum (LBH) Surabaya yang kantornya di Malang. Saat itu, konflik buruh versus pengusaha semakin banyak seiring dengan industrialisasi dengan keunggulan upah buruh murah yang menjadi program pemerintah. Kasus PT Sidobangun yang memecat 22 buruh tanpa prosedur dimenangi Munir. Kemenangan ini menjadi kemenangan pertama buruh terhadap penguasa dan membongkar persepsi bahwa pengadilan hanya milik orang kaya.
”Kasus ini kemudian jadi milestone bagi gugatan buruh pada kemudian hari,” cerita Poengky Indarti, salah satu anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
Melawan Orde Baru
Munir tampil dalam berbagai pertarungan melawan Orde Baru. Ia juga membongkar berbagai mitos Orde Baru, seperti tentang tentara yang tidak bisa dilawan. Bagi Munir, ABRI memotong-motong pertanggungjawaban atas orang yang hilang dan ingin cuci tangan.
Hampir semua kasus kekerasan negara terhadap rakyat dihadapi Munir. Ia menggarisbawahi bahwa semua kasus tersebut menghadapi hambatan politik.
”Munir hanya ingin negara tidak lagi melakukan kekerasan terhadap rakyat. Habis itu rencananya ia ingin pulang ke Malang. Mungkin bertani atau menulis buku,” cerita istri Munir, Suciwati.
Telah 12 tahun Munir pergi. Pada 7 September 2004, Munir tewas dalam penerbangan Jakarta-Belanda karena racun arsenik. Tidak ada perkembangan yang berarti pada penanganan kasusnya.
Buka hasil TPF
Akademisi Unibraw, Haris Elmahdi, menilai, pengungkapan dalang di balik kasus pembunuhan Munir tidak berkembang alias stagnan. Menurut Haris, para penggiat HAM saat ini menuntut keberanian pemerintah membuka lagi hasil penyelidikan tim pencari fakta (TPF). TPF dibentuk pada masa pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.