Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saksi Cerita Freddy Minta Perlindungan

Kompas.com - 25/08/2016, 07:21 WIB

JAKARTA, KOMPAS - Informasi soal sindikat narkoba Freddy Budiman yang diduga melibatkan aparat ternyata tak hanya diketahui Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Haris Azhar. Ada sejumlah saksi lain yang juga mengetahui cerita Freddy terkait keterlibatan aparat tersebut.

Namun, mereka meminta jaminan keselamatan pemerintah jika kesaksiannya dibutuhkan untuk mengungkap keterlibatan aparat. Haris membeberkan hal tersebut dalam pertemuan dengan Kepala BNN Komisaris Jenderal Budi Waseso, Kepala Inspektorat BNN Inspektur Jenderal Rum Murkal, dan Kepala Humas BNN Komisaris Besar Slamet Pribadi, di Jakarta, Selasa (23/8). Pertemuan berlangsung selama dua jam, dari pukul 06.00-08.00.

Sebelumnya, Haris diundang BNN setelah mengunggah tulisan berjudul "Cerita Busuk dari Seorang Bandit" di media sosial, 28 Juli lalu. Tulisan tersebut berisi dugaan keterlibatan aparat dalam jaringan narkoba Freddy.

"Saya ungkapkan kalau saya enggak masalah berbagi informasi nama-nama (saksi). Saya mau buka kalau ada jaminan," ujar Haris.

(Baca: Menkumham Akan Serahkan Video Testimoni Freddy Budiman ke Kapolri)

Haris menuturkan, ada beberapa saksi yang ditemuinya enggan memberikan informasi sebelum ada jaminan keamanan dari pemerintah. Mereka takut mengungkapkan keterlibatan aparat dalam bisnis narkoba.

Sementara menurut Slamet, BNN siap bekerja sama dengan Haris untuk mengungkap keterlibatan oknum aparat penegak hukum dalam bisnis narkoba yang dijalankan Freddy.

"Kami mempunyai komitmen yang sama dengan Haris dalam membuat terang isu yang beredar belakangan ini," kata Slamet.

Sementara itu, Tim Independen yang dibentuk Kepolisian Negara RI berencana menelusuri perkara lama Freddy. Penelusuran ini untuk menemukan kemungkinan keterlibatan aparat dalam mengendalikan bisnis peredaran narkotika di Indonesia.

(Baca: Polri Cari Tiga Pengacara yang Bantu Freddy Budiman Susun Pleidoi)

Seperti diketahui, Freddy tersandung tiga kasus narkotika secara berturut-turut. Pada 2009, ia berhadapan dengan penegak hukum atas kepemilikan 500 gram sabu dan dijatuhi hukuman penjara selama 3 tahun 4 bulan.

Kemudian pada 2011, ia divonis 18 tahun penjara karena kepemilikan ratusan gram sabu dan bahan pembuat ekstasi. Pada 2012, ia dijatuhi hukuman mati karena menyelundupkan 1,4 juta butir ekstasi dari Tiongkok.

"Pleidoi yang di Jakarta Barat isinya normatif dan itu bukan pleidoi pribadi melainkan dari penasihat hukum. Tidak ada menyebut aparat sama sekali. Tapi kami akan telusuri lagi karena dia bersidang tidak hanya sekali karena ada beberapa kasus," kata anggota Tim Independen Polri, Hendardi.

(Baca: Rekening Freddy Tak Masuk Daftar Mencurigakan, Polri Sulit Telusuri Aliran Dana ke Oknum)

Tim pun tengah mencari keberadaan penasihat hukum yang menangani Freddy saat bersidang di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Tiga penasihat hukum yang berasal dari J&A Law Office itu adalah Baron V Hanni, Aluisius Sulistyo, dan Adhi H Wibowo.

"Kami datangi kantornya, tetapi sudah tidak beroperasi. Kami minta bantuan Peradi untuk menemukan mereka," kata Hendardi.

Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal (Pol) Boy Rafli Amar mengatakan, informasi dari para penasihat hukum Freddy yang ikut merumuskan nota pembelaan ini diharapkan dapat memberikan titik terang. (IAN/C04/C09)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Agustus 2016, di halaman 3 dengan judul "Saksi Cerita Freddy Minta Perlindungan".

Kompas TV Ujung Tim Pencari Fakta- Satu Meja

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Nasional
Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com