JAKARTA, KOMPAS.com - Komnas Perempuan dalam pemantauannya menemukan fakta kerentanan berlapis yang dialami perempuan pekerja migran yang menjadi terpidana hukuman mati.
Kerentanan berlapis itu berupa indikasi korban perdagangan orang, dan korban sindikasi kejahatan narkoba, serta perlakuan semena-mena dalam proses peradilan di balik hukuman mati.
Pemantauan dilakukan Komnas Perempuan terhadap 12 pekerja migran dan atau keluarga terpidana mati di luar negeri.
(baca: Menurut Jokowi, Eksekusi Mati Harus Dilaksanakan untuk Kepastian Hukum)
Salah satunya terjadi pada Merry Utami, yang ditangkap di Bandara Soekarno Hatta karena membawa 1,1 kilogram heroin. Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan hukuman mati kepadanya tahun 2003.
Wakil Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah mengatakan, jaringan perdagangan internasional narkoba menyasar dan memanfaatkan kerentanan perempuan pekerja migran.
Hal itu dikarenakan mereka memiliki paspor dan dokumen untuk bergerak lintas negara dan jauh dari perlindungan keluarga dan negara.
"Modusnya berbagai macam. Mulai dari pendekatan personal, relasi pacaran, penipuan untuk dijadikan kurir," kata Yuniyanti di Komnas Perempuan, Jakarta, Selasa (26/7/2016).
Menurut Yuniyanti, sindikasi narkoba internasional menyasar perempuan muda, perempuan korban kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perempuan miskin, dan perempuan dengan pendidikan maupun informasi terbatas.
"Terpidana mati perempuan dengan tuduhan kejahatan narkoba rentan menjadi korban kekerasan seksual, pemukukan, dikucilkan, dibuang oleh keluarga, dan penghakiman sosial," ucap Yuniyanti.
Menurut Yuniyanti, perempuan pekerja migran yang dijebak menjadi kurir dalam proses, cara dan tujuan ekspolitasi kerap tidak dikenali oleh aparat dan penegak hukum.
"Pengadilan justru mengabaikan dan mempertimbangkan banyaknya kurir yang mengaku sebagai korban, namun tidak diikuti dengan perbaikan sistem investigasi, penyelidikan dan penyidikan memadai dalam pemberantasan narkoba," tutur Yuniyanti.