Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Alasan Pemerintah Lambat Verifikasi Info 7 WNI yang Disandera

Kompas.com - 24/06/2016, 13:25 WIB
Ihsanuddin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan mengakui, pemerintah terlambat memverifikasi informasi 7 warga negara Indonesia yang disandera kelompok bersenjata Filipina.

Informasi soal penyanderaan ini sudah disampaikan oleh keluarga korban di Samarinda sejak Rabu (22/6/2016).

Namun, pemerintah baru menggelar jumpa pers dan rapat untuk merespons penyanderaan ini pada hari ini, Jumat (24/6/2016).

Luhut mengatakan, sejak informasi ini tersiar, pemerintah sebenarnya langsung melakukan verifikasi dengan menghubungi berbagai pihak terkait. 

Akan tetapi, dari berbagai pihak yang dihubungi itu, belum ada yang membenarkan informasi penyanderaan tersebut.

"Karena dari BIN Filipina juga masih ragu sampai kemarin sore," kata Luhut, seusai rapat terkait 7 WNI yang disandera, di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat (24/5/2016) siang.

Menurut Luhut, sulitnya verifikasi membuat sejumlah pejabat terkait memberikan informasi keliru soal penyanderaan.

Salah satunya Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, yang sempat mengungkapkan pada Rabu (22/6/2016) bahwa penyanderaan WNI ini merupakan kabar bohong.

"Karena waktu itu banyak disinformasi juga. Tidak salah juga Panglima TNI. Panglima TNI kan bicara belum final. Bisa terjadi itu benar, dan ternyata benar," kata Luhut.

Tujuh WNI yang disandera merupakan anak buah kapal (ABK) TB Charles 001 dan kapal tongkang Robi 152.

Retno menyebutkan, penyanderaan tersebut terjadi di Laut Sulu. Penyanderaan, lanjut dia, terjadi dalam dua waktu berbeda, pada 20 Juni 2016.

Saat terjadi penyanderaan, kapal tersebut membawa tiga belas orang ABK.

Pada Rabu (24/6/2016), Panglima TNI sempat membantah kabar penculikan terhadap warga negara Indonesia (WNI) oleh kelompok Abu Sayyaf.

Padahal, kabar soal WNI yang disandera ini sudah diungkapkan salah satu keluarga ABK kepada media.

Megawati mengaku dihubungi oleh suaminya, Ismail, yang merupakan juru mudi yang turut disandera.

Pada Rabu (22/6/2016), Megawati menuturkan, tepat pukul 11.00 Wita hari itu, teleponnya berdering dan terlihat nomor panggilan dari Jakarta.

Ketika diangkat, ternyata suaminya, yang menghubunginya dengan nada tergesa-gesa. Suaminya memerintahkan Mega untuk mencari wartawan, kepolisian setempat, Pemerintah Indonesia, dan pihak PT PP Rusianto Bersaudara.

"Saya dikabari tergesa-gesa, saya kaget tidak sempat tanya apa kabarnya, bagaimana nasibnya. Dia cuma minta dicarikan wartawan, kepolisian, pemerintah, dan perusahaan," kata Mega, Rabu.

"Di akhir komunikasi, suami bilang harus disiapkan uang 20 juta ringgit sebagai uang tebusan. Kami sudah ke perusahaan, tetapi masih belum ada kejelasan," ujarnya.

Kompas TV Kapendam VI Mulawarman: TNI AD Siap Digerakan
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

7 Anggota LPSK 2024-2029 Ucapkan Sumpah di Hadapan Jokowi

7 Anggota LPSK 2024-2029 Ucapkan Sumpah di Hadapan Jokowi

Nasional
Komentari RUU Penyiaran, Mahfud: Keblinger, Masak Media Tak Boleh Investigasi?

Komentari RUU Penyiaran, Mahfud: Keblinger, Masak Media Tak Boleh Investigasi?

Nasional
Modifikasi Cuaca Akan Dilakukan untuk Kurangi Intensitas Hujan di Sumbar

Modifikasi Cuaca Akan Dilakukan untuk Kurangi Intensitas Hujan di Sumbar

Nasional
KPK Periksa Sekjen DPR RI Indra Iskandar

KPK Periksa Sekjen DPR RI Indra Iskandar

Nasional
Sidang Dugaan Pemerasan SYL, Jaksa Hadirkan 5 Pejabat Kementan Jadi Saksi

Sidang Dugaan Pemerasan SYL, Jaksa Hadirkan 5 Pejabat Kementan Jadi Saksi

Nasional
2 Desa di Pulau Gunung Ruang Tak Boleh Lagi Dihuni, Semua Warga Bakal Direlokasi

2 Desa di Pulau Gunung Ruang Tak Boleh Lagi Dihuni, Semua Warga Bakal Direlokasi

Nasional
Sentil DPR soal Revisi UU MK, Pakar: Dipaksakan, Kental Kepentingan Politik

Sentil DPR soal Revisi UU MK, Pakar: Dipaksakan, Kental Kepentingan Politik

Nasional
Ucapkan Sumpah di Hadapan Jokowi, Suharto Sah Jadi Wakil Ketua MA

Ucapkan Sumpah di Hadapan Jokowi, Suharto Sah Jadi Wakil Ketua MA

Nasional
Menelusuri Gagasan Jokowi Bakal Dijadikan Penasihat Prabowo

Menelusuri Gagasan Jokowi Bakal Dijadikan Penasihat Prabowo

Nasional
Antam Raih 3 Penghargaan di Ajang CSR dan PDB Award 2024

Antam Raih 3 Penghargaan di Ajang CSR dan PDB Award 2024

Nasional
Kenakan Pakaian Serba Hitam, Sandra Dewi Penuhi Panggilan Kejagung

Kenakan Pakaian Serba Hitam, Sandra Dewi Penuhi Panggilan Kejagung

Nasional
Revisi UU MK Disetujui Pemerintah, Mahfud MD: Sekarang Saya Tak Bisa Halangi Siapa-siapa

Revisi UU MK Disetujui Pemerintah, Mahfud MD: Sekarang Saya Tak Bisa Halangi Siapa-siapa

Nasional
BNPB Kaji Rencana Relokasi Rumah Warga Dekat Sungai dari Gunung Marapi

BNPB Kaji Rencana Relokasi Rumah Warga Dekat Sungai dari Gunung Marapi

Nasional
Gelar Anugerah Jurnalistik Sahabat Bahari 2024, Kementerian KP Usung Tema 25 Tahun Transformasi Kelautan dan Perikanan

Gelar Anugerah Jurnalistik Sahabat Bahari 2024, Kementerian KP Usung Tema 25 Tahun Transformasi Kelautan dan Perikanan

Nasional
KPK Duga SYL Jalan-jalan ke Luar Negeri, tetapi Dibuat Seolah Dinas

KPK Duga SYL Jalan-jalan ke Luar Negeri, tetapi Dibuat Seolah Dinas

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com