JAKARTA, KOMPAS.com - Konvensi Antikorupsi 2016 yang digelar Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah sejak Jumat (17/6/2016) berakhir hari ini.
Pantauan Kompas.com sejak hari pertama, Konvensi tersebut diikuti secara aktif Pimpinan Wilayah Pemuda Muhamnadiyah, Lembaga Kajian Antikorupsi, Organisasi Kepemudaan dan Kemasyarakatan lain, Lembaga Bantuan Hukum, akademisi, tokoh lintas agama, tokoh partai politik dan aktivis gerakan antikorupsi.
(Baca: Pemuda Muhammadiyah Dorong Hukuman Sosial Bagi Koruptor)
Dalam Konvensi di hari terakhir ini, Pemuda Muhammadiyah mendeklarasikan Panca Gerakan Antikorupsi berisi lima rekomendasi atau kesimpulan yang disarikan dari pertemuan selama tiga hari tersebut.
"Rekomendasi ini kami buat tanpa menuding, menyalahkan pihak lain dan fokus kepada agenda berjamaah dalam menciptakan peradaban bangsa Indonesia yang antikorupsi," ujar Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak di gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta Pusat, Minggu (19/6/2016).
Berikut isi Panca Gerakan Antikorupsi, yaitu:
Pertama, antikorupsi sebagai gerakan kebudayaan. Pemuda Muhammadiyah menilai gerakan antikorupsi harus menjadi gerakan kebudayaan dengan mengedepankan transformasi nilai dan kesadaran kolektif seluruh anak bangsa untuk mulai menanam kebudayaan jujur yang antikorupsi.
Sebagai nilai integratif dalam kehidupan sehari-hari, Pemuda Muhammadiyah merasa perlu untuk membangun kebudayaan antikoruspi dimulai dari diri sendiri (ibda binafishi). Salah satu usaha konkret adalah dengan memperbanyak pendirian madrasah antikorupsi atau sekolah antikorupsi yang memberikan pemahaman integratif.
"Inti pesannya, kami ingin berubah, tinggal bagaimana dengan pejabat negara mau berubah atau tidak," kata Dahnil.
Kedua, antikorupsi sebagai gerakan rakyat. Dahnil mengatakan gerakan antikorupsi harus menjadi gerakan massal dan dipahami sebagai gerakan bersama.
Oleh sebab itu dibutuhkan peran seluruh masyarakat sipil untuk memberikan pemahaman tentang bahayanya praktik korupsi sebagai kejahatan peradaban bukan sekedar kejahatan pidana biasa.
Ketiga, menebar kebencian terhadap koruptor Pemuda Muhammadiyah mendorong institusi keagamaan menggunakan instrumen aturan agama untuk memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi. Dahnil memandang menebar kebencian kepada koruptor itu sah dilakukan sepanjang tidak terkait dengan suku, ras dan agama.
Empat, koruptor adalah maling. Pemuda Muhammadiyah mengusulkan kepada media massa untuk menggunakan istilah "maling" bagi mereka yang terlibat kasus korupsi.
Hal ini dimaksudkan untuk membangun kesadaran kepada masyarakat bahwa korupsi adalah perilaku tidak beradab. Dan julukan maling adalah julukan yang sangat hina.
Kelima, membentuk partai antikorupsi Pemuda Muhammadiyah sadar bahwa gerakan kebudayaan antikorupsi tidak akan pernah efektif tanpa ada keterlibatan gerakan politik. Dahnil mengatakan bahwa partai antikorupsi tersebut bukan berbentuk partai politik organik, melainkan berupa jejaring antikorupsi yang memberikan perhatian khusus kepada penyiapan dan pembinaan orang muda kader-kader politik.