JAKARTA, KOMPAS.com — Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly menilai hak dan perlindungan bagi korban tak perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dia menilai, perlindungan dan pemenuhan hak korban tidak mendesak sehingga tidak harus diatur dalam perppu yang diterbitkan dalam keadaan genting dan memaksa.
"Ini kan revisi dan dikerjakan yang sangat mendesak dulu," kata Yasonna di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (30/5/2016).
(Baca: Pemerintah Harus Berikan Restitusi kepada Korban Kekerasan Seksual)
Hal tersebut disampaikan Yasonna menanggapi sejumlah kritik bahwa perppu tak mengatur hak dan perlindungan bagi korban.
Yasonna menilai, pemberatan dan penambahan hukuman terhadap pelaku kejahatan seksual jauh lebih penting untuk menimbulkan efek jera.
(Baca: Perppu Kebiri Dikeluarkan Tanpa Adanya Pertimbangan Nasib Korban)
Dengan perppu, pelaku bisa terancam hukuman mati, seumur hidup, maksimal 20 tahun penjara dan minimal 10 tahun penjara. Pelaku juga bisa mendapat hukuman tambahan berupa kebiri kimiawi, pemasangan deteksi elektronik, dan identitasnya diumumkan di hadapan publik.
"Kalau hak korban itu nanti bisa dibahas di Undang-Undang PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual). Naskah akademiknya sudah ada dan akan masuk prolegnas," ucap Yasonna.