JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Senior Para Syndicate, FS Swantoro menuturkan, jika Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto ingin membawa Golkar tetap eksis pada pemilu 2019, maka sebaiknya mencontoh langkah mantan Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Sebab, Novanto mulai memimpin partai dengan stigma negatif dari publik yang melekat pada dirinya. Kondisi tersebut, kata Swantoro, mirip dengan kondisi yang pernah dihadapi Akbar dan Prabowo.
"Posisi Pak Akbar saat itu sangat berat karena mewarisi dosa politik sejak Orde Baru," ujar Swantoro di Kantor Para Syndicate, Kebayoran Baru, Jakarta, Jumat (27/5/2016).
Ia mengibaratkan adanya tiga kamar. Kamar pertama negatif, kamar kedua netral dan kamar ketiga positif.
(baca: Setya Novanto Negatif di Mata Publik, tetapi Kuat Melobi Pemerintah)
Dimana pada saat mulai menakhodai Partai Golkar, Akbar mesti mengangkat partai tersebut dari citra negatif.
Hingga akhirnya pada 2003, Akbar membuat terobosan politik dengan menggelar konvensi Partai Golkar. Hingga akhirnya pada 2004, Golkar bisa memenangkan pemilu.
"Dari situ Golkar dapat credit point yang besar. Pada saat itu jadi Golkar baru," kata dia.
(baca: ICW: Setya Novanto Jadi Ketum, Citra Golkar Semakin Terpuruk)
Begitu pula dengan Prabowo. Karier politiknya dimulai dengan stigma buruknya pascaterjadinya kerusuhan 1998.
Saat mengikuti konvensi Partai Golkar, Prabowo sudah tak lagi berada pada posisi citra negatif, tetapi sudah dalam posisi netral.
Dalam perjalanannya, Prabowo mampu mengambil simpati publik dan pada Pemilu 2014 Partai Gerindra mampu menempati posisi ketiga. Padahal, pada Pileg 2009 Gerindra berada pada posisi kedua dari bawah.
(baca: Aburizal: Sekarang Apa Sih Masalah Pak Novanto?)
"Itu artinya lompatan yang sangat besar. Dari negatif, netral, ke positif," tutur Swantoro.
"Kalau Pak Setnov bisa melakukan seperti Pak Akbar dan Prabowo, maka Golkar ada harapan. Paling tidak mendapatkan 14-16 persen suara," sambung dia.
Setya Novanto sebelumnya meyakini bahwa dirinya tak pernah berbuat tercela. Ia juga menegaskan bahwa setiap langkah yang diambilnya demi kepentingan masyarakat luas.
(baca: Setya Novanto Merasa Dicitrakan Negatif oleh Media)
Citra negatif yang sempat melekat pada dirinya, kata Novanto, merupakan pembentukan citra yang juga dipengaruhi oleh pemberitaan media. Ia mencontohkan kasus "Papa Minta Saham" yang membuatnya mundur dari posisi Ketua DPR RI.
"Pencitraan itu kan media yang bisa memberikan kontribusi besar bahwa keadaan-keadaan bisa digeneralisasikan membuat satu kesimpulan pencitraan," kata Novanto.