Pada tanggal 24 September 2015 pemimpin Gereja Katolik Paus Fransiskus memberikan orasi tentang peran historis setiap politisi di hadapan Gedung Konggres Amerika Serikat. Setiap politisi memiliki tanggung jawab sosial membawa negerinya melalui aktivitas politik untuk tumbuh sebagai sebuah bangsa.
Setiap politisi, menurut Paus memiliki panggilan sejarah untuk merawat dan mempertahankan kehormatan setiap warga negara, dan tidak kenal lelah untuk mengutamakan kebaikan bersama di atas kepentingan privat (Washington Post, 24 September 2015).
Pesan ini adalah pesan yang sifatnya universal. Tugas-tugas politisi yang diuraikan di atas tidak hanya relevan bagi para politisi dan anggota dewan di Amerika Serikat, namun juga sudah seharusnya menggugah kesadaran para politisi di Indonesia.
Mungkin banyak dari kita yang akan berkomentar datar. Namanya juga pesan dari pemimpin agama, pasti bernuansa moralistik dan idealistik. Namun demikian, apakah pesan seperti itu realistis, di tengah dunia yang berjalan secara pragmatis?
Ketimpangan Sosial
Pertanyaan seperti itu hendaknya direspons kembali dengan sebuah pertanyaan mendasar? Saat menyaksikan persoalan-persoalan sosial di sekitar kita, apakah tidak realistik mengedepankan seruan-seruan moral politik?
Mari kita renungkan sejenak beberapa bulan lalu saat saya melakukan wawancara dengan beberapa pelaku bisnis sektor UKM. Mereka menceritakan betapa sulitnya meminta kredit dari bank pemerintah.
Bandingkan dengan kenyataan yang akan kita saksikan ke depan ketika pemerintah akan memberikan pengampunan pajak (tax amnesty) kepada para pengemplang pajak yang melarikan uangnya keluar negeri.
Kenyataan seperti ini mengingatkan kita pada sindiran sarkastik dari ekonom Amerika Serikat Joseph Stiglitz ketika menyatakan perkembangan sistem ekonomi dunia bergerak pada dua orientasi yakni sosialisme bagi orang-orang terkaya dan kapitalisme penuh persaingan bagi mereka yang miskin!
Problem ketidakadilan sosial yang kita hadapi bukan hanya persoalan moral, namun juga harus kita pertimbangkan sisi pragmatisnya. Penelitian yang dilansir oleh Richard Wilkinson dan Kate Pickett (2010) dalam karyanya The Spirit Level: Why Equality is Better for Everyone menyebutkan, bangsa-bangsa yang memiliki tingkat kesetaraan sosial yang tinggi menghadapi persoalan penyakit-penyakit sosial dan mental yang lebih rendah demikian pula sebaliknya.
Artinya semakin timpang kondisi ekonomi kita semakin besar bangsa kita menghadapi persoalan sosial mulai dari penyakit mental, kriminalitas dan melemahnya kepercayaan sosial (trust).
Semakin dalam persoalan sosial yang kita hadapi, maka semakin besar pula hambatan kita untuk mendorong produktivitas ekonomi. Dengan demikian, semakin melemah produktivitas ekonomi maka semakin sulit kita menumbuhkan kue pendapatan ekonomi.
Pada akhirnya apa yang baik untuk kebaikan bersama adalah baik pula bagi kepentingan setiap orang, bukan saja mereka yang miskin namun juga bagi mereka yang kaya.
Mentalitas Medioker
Kembali pada realitas karakter dari para politisi, kita menyaksikan bahwa mayoritas politisi kita masih bermental medioker. Kita sulit menemukan politisi yang memiliki kesadaran bahwa semenjak mereka aktif di dunia politik, maka mereka sudah mendedikasikan diri mereka pada jalan pengabdian yang berorientasi pada sikap excellent (keutamaan).