Kebanyakan dari mereka adalah para medioker yang cukup puas dengan hidup dalam kenyamanan di tengah kesempatan luas untuk memperkaya diri sendiri.
Sebagai salah satu contoh kita bisa melihat hal itu dalam dinamika pertarungan di tingkat partai politik. Menjelang momen politik Munaslub Partai Golkar, kita menyaksikan partai ini menghadapi beberapa persoalan moral politik yang tidak membanggakan (memalukan).
Momen yang mengecewakan tersebut terkait dengan keterlibatan dari kader partai tersebut dalam problem etis terkait dengan indikasi permintaan konsesi saham dalam kasus penambangan Freeport Inc.
Hal ini diikuti oleh berita tentang bertaburannya uang yang disebarkan di antara para kader menjelang momen politik tersebut. Fenomena seperti di atas menjadi hal yang lumrah dalam setiap perhelatan politik, mengingatkan kita akan lontaran sosiolog legendaris Karl Marx “History repeats itself, first as tragedy, than as farce” (Sejarah berulang kembali, pertama sebagai tragedi, kemudian sebagai lelucon!).
Kalau memang partai sebesar Partai Golkar tidak memiliki kader lain yang lebih kredibel, jangan kaget kalau partai mereka ditinggal oleh rakyat Indonesia dan digilas oleh laju sejarah!
Yang harus disadari setiap politisi saat ini adalah mereka kerapkali mengulang-ulang sikap-sikap medioker yang sama di tengah kesadaran politik setiap warga negara yang semakin lama semakin tinggi.
Tentu ketika melihat realitas politik kita sekarang, bentuk-bentuk politik ala medioker yang mengejar kepentingan diri dibandingkan keutamaan sosial masih berkuasa. Sampai kapan keadaan seperti ini akan terus berlangsung? Seberapa lama mereka bisa bertahan dengan sikap-sikap yang oleh publik dianggap sebagai lelucon yang tidak lucu?
Penggambaran muram atas realitas politik yang tengah berlangsung di Indonesia ini tentu tidak dimaksudkan membuat kita pesimis. Indonesia bukanlah negeri tanpa masa depan.
Di antara begitu banyaknya ketidakpedulian dan keserakahan perilaku para politisi kita, masih tetap muncul para politisi negarawan yang memegang suluh pencerah di tengah tantangan bernegara yang begitu berat.
Hal yang mirip juga tengah kita saksikan dalam momentum menjelang Pilkada Jakarta 2017. Betapa kuatnya perasaan insecure dan kepanikan berkembang dari kubu partai-partai politik ketika tampilnya tokoh kandidat dari calon perseorangan yang mendapatkan dukungan publik begitu luas.
Semestinya fenomena ini membuat mereka bercermin bahwa bisa jadi banyak kader partai yang tangguh dan berkomitmen. Karena belenggu kepentingan dan kekuasaan oligarki untuk mempertahankan kemakmuran selama ini, tokoh-tokoh politisi seperti ini tidak dapat tampil ke depan merehabilitasi partai politik yang sudah saatnya direformasi.