Keputusan ini diambil setelah Presiden melakukan konsultasi dengan Pimpinan DPR pada Senin (22/2/2016) kemarin.
Namun, Bivitri menilai, penundaan pembahasan revisi tak membuat posisi UU KPK lebih aman.
"Saya mengapresiasi langkah Presiden. Ini merupakan kompromi politik yang terbaik. Tapi posisi UU KPK masih belum aman karena hanya ditunda," ujar Bivitri, saat dihubungi di Jakarta, Senin malam (22/2/2016).
Ia khawatir, jika UU KPK tetap dipertahankan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR, akan terjadi barter politik.
Oleh karena itu, menurut Bivitri, Presiden seharusnya menolak revisi dan mengeluarkannya dari Prolegnas 2016.
"Saya khawatir kalau tidak dikeluarkan jadi barter politik. Jika ada peristiwa politik tertentu, revisi UU KPK akan dinaikkan lagi. Entah jadi pengalih atau apapun," kata dia.
Bivitri mengatakan, perlu kajian lengkap dan komprehensif terhadap UU KPK. Tanpa kajian mendalam, beberapa poin pada draf RUU KPK akan merusak sistem hukum.
Contohnya, kata dia, usulan soal kewenangan dewan pengawas dalam memberikan izin penyadapan.
Hal tersebut bertentangan dengan sistem hukum di Indonesia karena penyadapan termasuk dalam ranah penegakan hukum. Oleh karena itu, izin penyadapan harus diberikan oleh lembaga peradilan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.