Jika fungsi intelijen kuat, maka aktivitas Gafatar sekarang tidak akan sampai meresahkan masyarakat dengan adanya peristiwa hilangnya sejumlah warga secara tiba-tiba dan diduga terkait organisasi tersebut.
"Tentunya, publik mempertanyakan kinerja intelijen jika gerakan ini pada akhirnya dianggap merugikan masyarakat bahkan mengancam keamanan negara," ujar Fajar dalam siaran pers yang diterima, Rabu (13/1/2016).
(Baca: Gafatar Tepis Adanya Kaitan dengan Ahmad Moshaddeq)
Padahal, lanjut dia, sudah muncuk riak-riak penolakan di beberapa daerah. Keberadaan Gafatar diangga juga merupakan potret lunturnya kepercayaan publik terhadap negara.
Lebih lanjut, Fajar mengungkapkan Gafatar sempat mengajukan permohonan audiensi dengan MAARIF Institute pada tahun 2011. Saat itu mereka sedang gencar sosialisasi sekaligus menggalang dukungan tokoh-tokoh masyarakat jelang deklarasi organisasi itu.
"Namun, kami tidak merespon lebih jauh, terlebih waktu itu NII Crisis Center, salah satu mitra MAARIF Institute dalam kampanye anti kekerasan, mensinyalir Gafatar sebagai bentuk kelanjutan NII," ucap dia.
(Baca: Gafatar Tepis Terapkan Ajaran Agama yang Berbeda)
Fajar menjelaskan, kelompok Gafatar juga menggunakan istilah-istilah yang biasa dipakai NII seperti hijrah dan pemerintah kafir namun mereka tidak memprovokasi pengikutnya melakukan kekerasan fisik.
(Baca: Jejak Organisasi Gafatar di Indonesia...)
Dijelaskan Fajar, Mahful mengakui bahwa beberapa pendiri pernah terlibat dalam komunitas keagamaan yang sudah difatwa sesat oleh MUI tahun 2007. Jika ditelusuri, kelompok yang dimaksud adalah Al Qiyadah al-Islamiyah pimpinan Ahmad Moshaddeq.
Orang ini kini mendekam di LP Cipinang karena kasus mengaku nabi baru.
"Hemat saya, rantai ini penting dicermati dalam membaca proses evolusi gerakan ini," ucap Fajar.